PROSES PEMBENTUKAN JANIN ,PROSES KEHAMILAN,PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FETUS

I. PROSES PEMBENTUKAN JANIN
A. Spermatogenesis
Peralihan dari bakal sel kelamin yang aktif membelah ke sperma yang masak serta menyangkut berbagai macam perubahan struktur yang berlangsung secara berurutan. Spermatogenesis berlangsung pada tubulus seminiferus dan diatur oleh hormone gonadotropin, FSH dan testosterone (Wildan yatim, 1990).
Tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap yaitu :
1. Spermatositogenesis
Merupakan spermatogonia yang mengalami mitosis berkali-kali yang akan menjadi spermatosit primer.
Spermatogonia
Spermatogonia merupakan struktur primitif dan dapat melakukan reproduksi (membelah) dengan cara mitosis. Spermatogonia ini mendapatkan nutrisi dari sel-sel sertoli dan berkembang menjadi spermatosit primer.
Spermatosit Primer
Spermatosit primer mengandung kromosom diploid (2n) pada inti selnya dan mengalami meiosis. Satu spermatosit akan menghasilkan dua sel anak, yaitu spermatosit sekunder.
2. Tahapan Meiosis
Spermatosit I (primer) menjauh dari lamina basalis, sitoplasma makin banyak dan segera mengalami meiosis I yang kemudian diikuti dengan meiosis II.
Sitokenesis pada meiosis I dan II ternyata tidak membagi sel benih yang lengkap terpisah, tapi masih berhubungan sesame lewat suatu jembatan (Interceluler bridge). Dibandingkan dengan spermatosit I, spermatosit II memiliki inti yang gelap.
3. Tahapan Spermiogenesis
Merupakan transformasi spermatid menjadi spermatozoa yang meliputi 4 fase yaitu fase golgi, fase tutup, fase akrosom dan fase pematangan. Hasil akhir berupa empat spermatozoa masak. Dua spermatozoa akan membawa kromosom penentu jenis kelamin wanita “X”. Apabila salah satu dari spermatozoa ini bersatu dengan ovum, maka pola sel somatik manusia yang 23 pasang kromosom itu akan dipertahankan. Spermatozoa masak terdiri dari :
1. Kepala (caput), tidak hanya mengandung inti (nukleus) dengan kromosom dan bahan genetiknya, tetapi juga ditutup oleh akrosom yang mengandung enzim hialuronidase yang mempermudah fertilisasi ovum.
2. Leher (servix), menghubungkan kepala dengan badan.
3. Badan (corpus), bertanggungjawab untuk memproduksi tenaga yang dibutuhkan untuk motilitas.
4. Ekor (cauda), berfungsi untuk mendorong spermatozoa masak ke dalam vas defern dan ductus ejakulotorius.
B. Oogenesis
1. Sel-Sel Kelamin Primordial
Sel-sel kelamin primordial mula-mula terlihat di dalam ektoderm embrional dari saccus vitellinus, dan mengadakan migrasi ke epitelium germinativum kira-kira pada minggu ke 6 kehidupan intrauteri. Masing-masing sel kelamin primordial (oogonium) dikelilingi oleh sel-sel pregranulosa yang melindungi dan memberi nutrien oogonium dan secara bersama-sama membentuk folikel primordial.
2. Folikel Primordial
Folikel primordial mengadakan migrasi ke stroma cortex ovarium dan folikel ini dihasilkan sebanyak 200.000. Sejumlah folikel primordial berupaya berkembang selama kehidupan intrauteri dan selama masa kanak-kanak, tetapi tidak satupun mencapai pemasakan. Pada waktu pubertas satu folikel dapat menyelesaikan proses pemasakan dan disebut folikel de Graaf dimana didalamnya terdapat sel kelamin yang disebut oosit primer.
3. Oosit Primer
Inti (nukleus) oosit primer mengandung 23 pasang kromosom (2n). Satu pasang kromosom merupakan kromosom yang menentukan jenis kelamin, dan disebut kromosom XX. Kromosom-kromosom yang lain disebut autosom. Satu kromosom terdiri dari dua kromatin. Kromatin membawa gen-gen yang disebut DNA.
4. Pembelahan Meiosis Pertama
Meiosis terjadi di dalam ovarium ketika folikel de Graaf mengalami pemasakan dan selesai sebelum terjadi ovulasi. Inti oosit atau ovum membelah sehingga kromosom terpisah dan terbentuk dua set yang masing-masing mengandung 23 kromosom. Satu set tetap lebih besar dibanding yang lain karena mengandung seluruh sitoplasma, sel ini disebut oosit sekunder. Sel yang lebih kecil disebut badan polar pertama. Kadang-kadang badan polar primer ini dapat membelah diri dan secara normal akan mengalami degenerasi.
Pembelahan meiosis pertama ini menyebabkan adanya kromosom haploid pada oosit sekunder dan badan polar primer, juga terjadi pertukaran kromatid dan bahan genetiknya. Setiap kromosom masih membawa satu kromatid tanpa pertukaran, tetapi satu kromatid yang lain mengalami pertukaran dengan salah satu kromatid pada kromosom yang lain (pasangannya). Dengan demikian kedua sel tersebut mengandung jumlah kromosom yang sama, tetapi dengan bahan genetik yang polanya berbeda.
5. Oosit Sekunder
Pembelahan meiosis kedua biasanya terjadi hanya apabila kepala spermatozoa menembus zona pellucida oosit (ovum). Oosit sekunder membelah membentuk ovum masak dan satu badan polar lagi, sehingga terbentuk dua atau tiga badan polar dan satu ovum matur, semua mengandung bahan genetik yang berbeda. Ketiga badan polar tersebut secara normal mengalami degenerasi. Ovum yang masak yang telah mengalami fertilisasi mulai mengalami perkembangan embrional.



II. PROSES KEHAMILAN

A. Fertilisasi
Menurut Sri Sudarwati (1990) fertilisasi merupakan proses peleburan dua macam gamet sehingga terbentuk suatu individu baru dengan sifat genetic yang berasal dari kedua parentalnya. Sedangkan menurut Wildan Yatim (1990) fertilisasi merupakan masuknya spermatozoa kedalam ovum. Setelah spermatozoa masuk, ovum dapat tumbuh menjadi individu baru. Fertilisasi atau pembuahan adalah proses penyatuan gamet pria dan wanita yang terjadi di daerah ampula tuba falopii. Bagian ini adalah bagian terluas pada saluran telur dan teretak dengan ovarium. Spermatozoa dapat bertahan hidup di dalam saluran reproduksi wanita selama kira-kira 24 jam. Spermatozoa bergerak dengan cepat dari vagina ke rahim dan selanjutnya masuk ke dalam saluran telur. Pergerakan naik ini disebabkan oleh kontraksi otot-otot uterus dan tuba. Perlu diingat bahwa pada saat sampai di saluran kelamin wanita, spermatozoa belum mampu membuahi osit. Mereka harus mengalami proses kapasitasi dan reaksi akrosom.
Kapasitasi adalah suatu masa penyesuaian di dalam saluran reproduksi wanita yang pada manusia berlangsung kira-kira 7 jam. Selama waktu itu, suatu gelembung glikoprotein dari protein-protein plasma semen dibuang dari selaput plasma yang membungkus daerah akrosom spermatozoa. Hanya sperma yang menjalani kapasitasi yang dapat melewati sel korona dan mengalami reaksi akrosom.

Reaksi akrosom terjadi setelah penempelan zona pelusida dan diinduksi oleh protein-protein zona. Reaksi ini berpuncak pada pelepasan enzim-enzim yang diperlukan untuk menembus zona pelusida antara lain akrosin dan zat serupa tripsin. Fase fertilisasi mencakup fase 1 (penembusan korona radiata), fase 2 (penembusan zona pelusida) dan fase 3 (fusi oosit dan membran plasma)



Tahap 1 Penembusan Korona Radiata
Dari 200 – 300 juta sperma yang dicurahkan ke dalam saluran kelamin wanita hanya 300 sampai 500 yang mencapai tempat pembuahan. Hanya satu diantaranya yang diperlukan untuk pembuahan, dan diduga bahwa sperma-sperma lainnya membantu sperma yang akan dibuahi untuk menembus sawar-sawar yang melindungi gamet wanita. Sperma yang mengalami kapasitasi dengan bebas menembus sel korona.

Tahap 2 Penembusan Zona Pelusida
Zona pelusida adalah sebuah perisai glikoprotein disekeliling telur yang mempermudah dan mempertahankan pengikatan sperma dan menginduksi reaksi akrosom. Pelepasan enzim-enzim akrosom memungkinkan sperma menembus zona pelusida sehingga akan bertemu dengan membran plasma oosit. Permeabilitas zona pelusida berubah ketika kepala sperma menyentuh permukaan oosit. Hal ini mengakibatkan pembebasan enzim-enzim lisosom dari granul-granul korteks yang melapisi membran plasma oosit. Pada gilirannya enzim-enzim ini menyebabkan perubahan sifat zona pelusida (reaksi zona) untuk menghambat penetrasi sperma dan membuat tak aktif tempat-tempat reseptor bagi spermatozoa pada permukaan zona yang spesifik spesies. Spermatozoa lain ternyata bisa menempel di zona pelusida tetapi hanya satu yang terlihat mampu menembus oosit.

Tahap 3 Penyatuan Oosit dan membran sel sperma
Segera setelah spermatozoa menyentuh membran sel oosit, kedua selput plasma sel tersebut menyatu. Karena selaput plasma yang membungkus kepala akrosom telah hilang pada saat reaksi akrosom, penyatuan yang sebenarnya terjadi adalah antara selaput oosit dan selaput yang meliputi bagian belakang kepala sperma. Pada manusia, baik kepala dan ekor spermatozoa memasuki sitoplasma oosit, tetapi selaput plasma tertinggal di permukaan oosit.
Segera setelah spermatozoa memasuki oosit, sel telur menanggapinya dengan cara yang berbeda.
1. Reksi kortikal dan zona. Sebagai akibat terlepasnya butir-butir kortikal oosit (a) selaput oosit tidak dapat ditembus lagi oleh spermatozoa lainnya dan (b) zona pelusida mengubah struktur dan komposisinya untuk mencegah penambatan dan penetrasi sperma. Dengan cara ii terjadinya polispermi dicegah.
2. Melanjutkan pembelahan mitosis kedua. Oosit menyelesaikan pembelahan meiosis keduanya segera setelah ada spermatozoa yang masuk. Salah satu dari sel anaknya hampir tidak mendapatkan sitoplasma dan dikenal sebagai badan kutub kedua, sel anak lainnya adalah oosit definitif. Kromosomnya (22+X) tersusun didalam sebuah inti vesikuler yang dikenal sebagai pronukleus wanita
3. Penggiatan metabolik sel telur. Faktor penggiat diperkirakan dibawa oleh spermatozoa. Penggiatan setelah penyatuan diperkirakan untuk mengulangi kembali peristiwa permulaan seluler dan molekuler yang berhubungan dengan awal embriogenesis.

Sementara itu spermatozoa bergerak terus maju hingga dekat sekali dengan pronukleus wanita. Intinya embengkak dan membentuk pronukleus pria sedangkan ekornya terlepas dan berdegenerasi. Secara morfologis, pronukleus wanita dan pria tidak dapat dibedakan dan sesudah itu mereka saling rapat erat dan kehilangan selaput inti mereka. Selama masa pertumbuhan, baik pronukleus pria maupun wanita (keduanya haploid), masing-masing pronukleus harus menggandakan DNA-nya. Jika tidak, masing-masing sel dalam zigot tahap dua sel tersebut akan mempunyai separuh dari jumlah DNA normal. Segera setelah sintesis DNA, kromosom tersusun dalam gelendong untuk mempersiapkan pembelahan mitosis yang normal. 23 kromosom ibu dan 23 kromosam ayah (rangkap) membelah memanjang pada sentromer dan kromatid-kromatid yang berpasangan tersebut saling bergerak ke arah kutub yang berlawanan, sehingga menyiapkan sel zigot yang masing-masing mempunyai jumlah kromosom dan DNA yang normal. Sementara kromatid-kromatid berpasangan bergerak ke arah kutub yang berlawanan, munculah satu alur yang dalam pada permukaan sel yang berangsur-angsur membagi sitoplasma menjadi 2 bagaian.

Hasil utama pembuahan adalah :
1. Pengembalian menjadi jumlah kromosom diploid lagi, separuh dari ayah dan separuhnya dari ibu. Oleh karena itu, zigot mengandung kombinasi kromosom baru yang berbeda dari kedua orang tuanya.
2. Penentuan jenis kelamin individu baru. Spermatozoa pembawea X akan menghasilkan satu mudigah wanita (XX), dan spermatozoa pembawa Y menghasilkan satu mudigah pria (XY). Oleh karena itu, jenis kelamin kromosom mudigah tersebut ditentukan saat pembuahan
3. Dimulainya pembelahan. Tanpa pembuahan, oosit biasanya akan berdegenerasi 24 jam setelah ovulasi.

Setelah zigot mencapai tingkat dua sel, ia menjalani serangkaian pembelahan mitosis, mengakibatkan bertambahnya jumlah sel dengan cepat. Sel yang menjadi semakin kecil pada setiap pembelahan ini dikenal sebagai blastomer. Sampai pada tingkat delapan sel, sel-selnya membentuk sebuah gumpalan bersusun longgar. Tetapi, setelah pembelahan ketiga, hubungan antara blastomer semkin rapat, sehingga membentuk sebuah bola sel yang padat yang disatukan oleh persambungan yang kuat. Proses ini yang dikenal sebagai pemadatan, memisahkan sel-sel bagian dalam yang saling berkomunikasi secara ekstensif dengan gap junction dari sel-sel bagain luar. Kira-kira 3 hari setelah pembuahan, sel-sel embrio yang termampatkan tersebut membelah lagi membentuk morula dengan 16 sel. Sel-sel bagian dalam morula merupakan massa sel dalam, sedangkan sel-sel sekitar membentuk massa sel luar. Massa sel dalam akan membentuk jaringan-jaringan embrio sebenarnya, sementara massa sel luar membentuk trofoblas yang kemudian ikut membentuk plasenta.

Kira-kira pada waktu morula memasuki rongga rahim, cairan mulai menembus zona pelusida masuk ke dalam ruang antar sel yang ada di massa sel dalam. Berangsur-angsur ruang antar sel menyat dan akhirnya terbentuklah sebuah rongga blastokel. Pada saat ini, mudigah dikenal sebagai blastokista. Sel-sel di dalam massa sel dalam yang sekarang disebut embrioblas terletak pada salah satu kutub, sedangkan selsel di massa sel luar ata trofoblas, menipis membentuk dinding epitel untuk blastokista. Zona pelusida kini sudah menghilang, sehingga implantasi bisa dimulai.

Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan zigot. Hal ini dapat berlangsung oleh karena sitoplasma ovum mengandung banyak zat asam amino dan enzim. Segera setelah pembelahan ini terjadi, maka pembelahan-pembelahan selanjutnya berjalan dengan lancar dan dalam 3 hari terbentuk sel-sel yang sama besarnya. Hasil konsepsi berada dalam stadium morula. Energi untuk pembelahan ini diperoleh dari vitellus, hingga volume vitelus makin berkurang dan terisi seluruhnya oleh morula. Dengan demikian, zona pelusida tetap untuk atau dengan perkataan lain, besarnya hasil konsepsi tetap sama. Dalam ukuran yang sama ini ahsil konsepsi disalurkan terus ke pars istmika dan pars interstitialis tuba (bagian-bagian tuba yang mnyempit) dan terus ke arah kavum uteri oleh arus serta getaran silia pada permukaan sel-sel tuba dan kontraksi tuba. Dalam kavum uteri hasil konsepsi mencapai stadium blastula.

Pada stadium blastula ini sel-sel yang lebih kecil yang membentuk dinding blastula akan mejadi trofoblas. Denga demikian, blastula diselubungi oleh suatu simpai yang disebut trofobas. Trofoblas yang mempunyai kemampuan menghancurkan dan mencairkan jaringan menemukan endometrium dalam masa sekresi dengan sel-sel desidua. Sel-sel desidua ini besar-besar dan mengandung lebih banyak glikogen serta mudah dihancurkan oleh trofoblas. Blastula dengan bagian yang mengandung inner cell mass aktif mudah masuk ke dalam lapisan desidua dan luka pada desidua kemudian menutup kembali. Kadang-kadang pada saat nidasi yakni masuknya ovum ke dalam endometrium terjadi perdarahan pada luka desidua.
Spermatozoa yang mengelilingi ovum akan menghasilkan enzim hialuronidase, yaitu enzim yang memecah protoplasma pelindung ovum agar dapat menembus ovum dengan sedikit lebih mudah. Enzim tersebut merusak korona radiata dan memudahkan penembusan zona pellucida hanya untuk satu sperma saja. Badan dan ekor sperma terpisah dari kepala segera setelah masuk ke dalam ovum. Segera setelah kedua sel bersatu, kumparan kutub kedua dalam inti (nukleus) ovum mengalami pembelahan meiosis kedua dan mampu bersatu dengan inti sperma, sehingga terbentuk kromosom diploid (2n).
B. Perkembangan Janin di Rahim
1. Pembelahan
Menurut yatim (1990:155) pada manusia pembelahan terjadi secara holoblastik tidak teratur. Dimana bidang dan waktu tahap-tahap pembelahan tidak sama dan tidak serentak pada berbagai daerah zigot. Awalnya zigot membelah menjadi 2 sel, kemudian terjadi tingkat 3 sel, kemudian tingkat 4 sel, diteruskan tingkat 5 sel, 6 sel, 7 sel, 8 sel, dan terus menerus hingga terbentuk balstomer yang terdiri dari 60-70 sel, berupa gumpalan massif yang disebut morula.
Pembelahan atau segmentasi terjadi setelah pembelahan. Zigot membelah berulang kali sampai terdiri dari berpuluh sel kecil yang disebut blastomer. Pembelahan itu bias meliputi seluruh bagian, bias pula hanya sebagian kecil zigot. Pembelahan ini terjadi secara mitosis. Bidang yang ditempuh oleh arah pembelahan ketika zigot mengalami mitosis terus-menerus menjadi banyak sel, disebut bidang pembelahan. Ada 4 macam bidang pembelahan yaitu meridian, vertical, ekuator dan latitudinal
2. Blastulasi dan Nidasi
Setelah sel-sel morula mengalami pembelahan terus-menerus maka akan terbentuk rongga di tengah. Rongga ini makin lama makin besar dan berisi cairan. Embrio yang memiliki rongga disebut blastula, rongganya disebut blastocoel, proses pembentukan blastula disebut blastulasi.
Pembelahan hingga terbentuk blastula ini terjadi di oviduk dan berlangsung selama 5 hari. Selanjutnya blastula akan mengalir ke dalam uterus. Setelah memasuki uterus, mula-mula blastosis terapung-apung di dalam lumen uteus. Kemudian, 6-7 hari setelah fertilisasi embryo akan mengadakan pertautan dengan dinding uterus untuk dapat berkembang ke tahap selanjutnya. Peristiwa terpautnya antara embryo pada endometrium uterus disebut implantasi atau nidasi. Implantasi ini telah lengkap pada 12 hari setelah fertilisasi (Yatim, 1990: 136)
3. Gastrulasi
Menurut Tenzer (2000:212) Setelah tahap blastula selesai dilanjutkan dengan tahap gastrulasi. Gastrula berlangsung pada hari ke 15. Tahap gastrula ini merupakan tahap atau stadium paling kritis bagi embryo. Pada gastrulasi terjadi perkembangan embryo yang dinamis karena terjadi perpindahan sel, perubahan bentuk sel dan pengorganisasian embryo dalam suatu sistem sumbu. Kumpulan sel yang semula terletak berjauhan, sekarang terletak cukup dekat untuk melakukan interkasi yang bersifat merangsang dalam pembentukan sistem organ-organ tbuh. Gastrulasi ini menghasilkan 3 lapisan lembaga yaitu laisan endoderm di sebelah dalam, mesoderm disebelah tengah dan ectoderm di sebelah luar.
Dalam proses gastrulasi disamping terus menerus terjadi pembelahan dan perbanyakan sel, terjadi pula berbagai macam gerakan sel di dalam usaha mengatur dan menyusun sesuai dengan bentuk dan susunan tubuh individu dari spesies yang bersangkutan.
4. Tubulasi
Tubulasi adalah pertumbuhan yang mengiringi pembentukan gastrula atau disebut juga dengan pembumbungan. Daerah-daerah bakal pembentuk alat atau ketiga lapis benih ectoderm, mesoderm dan endoderm, menyusun diri sehingga berupa bumbung, berongga. Yang tidak mengalami pembumbungan yaitu notochord, tetapi masif. Mengiringi proses tubulasi terjadi proses differensiasi setempat pada tiap bumbung ketiga lapis benih, yang pada pertumbuhan berikutnya akan menumbuhkan alat (organ) bentuk definitif. Ketika tubulasi ectoderm saraf berlangsung, terjadi pula differensiasi awal pada daerah-daerah bumbung itu, bagian depan tubuh menjadi encephalon (otak) dan bagian belakang menjadi medulla spinalis bagi bumbung neural (saraf). Pada bumbung endoderm terjadi diferensiasi awal saluran atas bagian depan, tengah dan belakang. Pada bumbung mesoderm terjadi diferensiasi awal untuk menumbuhkan otot rangka, bagian dermis kulit dan jaringan pengikat lain, otot visera, rangka dan alat urogenitalia.
5. Organogenesis
Organogenesis atau morfogenesis adalah embryo bentuk primitif yang berubah menjadi bentuk yang lebih definitif dan memiliki bentuk dan rupa yang spesifik dalam suatu spesies. Organogensisi dimulai akhir minggu ke 3 dan berakhir pada akhir minggu ke 8. Dengan berakhirnya organogenesis maka ciri-ciri eksternal dan sistem organ utama sudah terbentuk yang selanjutnya embrio disebut fetus (Amy Tenzer,dkk, 2000)
Pada periode pertumbuhan antara atau transisi terjadi transformasi dan differensiasi bagian-bagian tubuh embrio dari bentuk primitif sehingga menjadi bentuk definitif. Pada periode ini embryo akan memiliki bentuk yang khusus bagi suatu spesies. Pada periode pertumbuhan akhir, penyelesaian secara halus bentuk definitif sehingga menjadi ciri suatu individu. Pada periode ini embrio mengalami penyelesaian pertumbuhan jenis kelamin, watak (karakter fisik dan psikis) serta wajah yang khusus bagi setiap individu. Organogenesis pada bumbung-bumbung:
Eksoderm terbagi atas epidermis dan neural
Epidermis
1. Lapisan epidermis kulit, dengan derivatnya yang bertekstur (susunan kimia) tanduk: sisik, bulu, kuku, tanduk, cula, taji.
2. Kelenjar-kelenjar kulit: kelenjar minyak bulu, kelenjar peluh, kelenjar ludah, kelenjar lender, kelenjar air mata.
3. Lensa mata, alat telinga dalam, indra bau dan indra peraba.
4. Stomodeum menumbuhkan mulut, dengan derivatnya seperti lapisan email gigi, kelenjar ludah dan indra pengecap.
5. Proctodeum menumbuhkan dubur bersama kelenjarnya yang menghasilkan bau tajam.
6. Lapisan enamel gigi.
Neural (saraf)
1. Otak dan sumsum tulang belakang.
2. Saraf tepi otak dan punggung.
3. Bagian persyarafan indra, seperti mata, hidung dan kulit.
4. Chromatophore kulit dan alat-alat tubuh yang berpigment.

Mesoderm
1. Otot : lurik, polos dan jantung.
2. Mesenkim yang dapat berdifferensiasi menjadi berbagai macam sel dan jaringan.
3. Gonad, saluran serta kelenjar-kelenjarnya.
4. Ginjal dan ureter.
5. Lapisan otot dan jaringan pengikat (tunica muscularis, tunica adventitia, tunica musclarismucosa dan serosa) berbagai saluran dalam tubh, seperti pencernaan, kelamin, trakea, bronchi, dan pembuluh darah.
6. Lapisan rongga tubuh dan selaput-selaput berbagai alat: plera, pericardium, peritoneum dan mesenterium.
7. Jaringan ikat dalam alat-alat seperti hati, pancreas, kelenjar buntu.
8. Lapisan dentin, cementum dan periodontum gigi, bersama pulpanya.
Endoderm
1. Lapisan epitel seluruh saluran pencernaan mulai faring sampai rectum.
2. Kelenjar-kelenjar pencernaan misalnya hepar, pancreas, serta kelenjar lender yang mengandung enzim dlam esophagus, gaster dan intestium.
3. Lapisan epitel paru atau insang.
4. Kloaka yang menjadi muara ketiga saluran: pembuangan (ureter), makanan (rectum), dan kelamin (ductus genitalis).
5. Lapisan epitel vagina, uretra, vesika urinaria dan kelenjar-kelenjarnya.
Pada minggu ke 5 embryo berukuran 8 mm. Pada saat ini otak berkembang sangat cepat sehingga kepala terlihat sangat besar. Pada minggu ke 6 embrio berukuran 13 mm. Kepala masih lebih besar daripada badan yang sudah mulai lurus, jari-jari mulai dibentuk. Pada minggu ke 7 embryo berukuran 18 mm, jari tangan dan kaki mulai dibentuk, badan mulai memanjang dan lurus, genetalia eksterna belum dapat dibedakan. Setelah tahap organogenesis selesai yaitu pada akhir minggu ke 8 maka embrio akan disebut janin atau fetus dengan ukuran 30 mm.



III. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FETUS

A. Pertumbuhan Fetus

Umur fetus (janin) yang sebenarnya, harus dihitung dari saat fertilisasi atau karena fertilisasi selalu berdekatan dengan ovulasi, sekurang-kurangnya dari saat ovulasi. Dalam praktek, tuanya kehamilan dihitung dari haid yang terakhir. Sesuai dengan tingkat pertumbuhannya, berbagai nama diberikan pada anak yang dikandung itu.
1. Ovum : Umurnya dari 0-2 minggu setelah fertilisasi.
2. Embrio : Umurnya dari 3-5 minggu, mulai terjadi pembentukan alat- alat badan dalam bentuk dasar.
3. Fetus : Janin yang sudah mempunyai bentuk manusia.

Pertumbuhan fetus (janin) dipengaruhi oleh :
1. Faktor ibu, seperti :
 Tinggi badan
 Keadaan gizi
 Tingginya tempat tinggal
 Peminum atau perokok
 Kelainan pembuluh darah
 Kelainan uterus
 Kehamilan ganda

2. Faktor anak, seperti :
 Jenis kelamin
 Kelainan genetis
 Infeksi intrauterin terutama oleh virus
 Kelainan kongenital lainnya

3. Faktor Plasenta, seperti :
 Insuffisiensi dari plasenta dapat menyebabkan malnutrition intrauterin
Minggu ke-4 panjang kepala-bokong sekitar 44 mm dan meningkat 1 mm perhari sampai 30 mm antara Minggu ke-8 dan 28, pertumbuhan meningkat pesat menjadi sekitar 1,5 mm perhari, hingga periode ini dikenal sebagai periode pertumbuhan janin.

Pertumbuhan janin adalah hasil dari interaksi antara dorongan genetik untuk tumbuh dan penyediaan nutrisi selama kehamilan untuk menunjang dorongan tersebut yang melibatkan interaksi dinamis antara janin plasenta dan ibunya.

B. Perkembangan Fetus

Hasil konsepsi terpendam dalam endometrium uterus, mendapat makanan dari darah ibu, selama 10 minggu organ-organ terbentuk. Embrio terbungkus dalam dua membran sebelah dalam amnion dan sebelah luar korion. Selama perkembangan 8 minggu pertama, terbentuk plasenta sehingga fetus akan terikat oleh tali pusar.

Permulaan periode embrional sebagai mulainya Minggu ke-3 setelah ovulasi. Akhir periode embrional dan mulainya periode janin ditetapkan oleh sebagian ahli embriologi, terjadi 8 minggu setelah fertilisasi, atau 10 minggu setelah mulainya periode menstruasi terakhir.

Pada akhir Minggu ke-8 ini, tubuh bayi mulai terbentuk, dan kini disebut fetus (berasal dari bahasa latin yang berarti keturunan) atau janin. Pada usia ini, fetus berukuran kira-kira 3,5 cm dan terus tumbuh cepat hingga Minggu ke-20, baru kemudian laju pertumbuhannya melambat. Kepalanya tampak besar jika dibandingkan dengan tubuhnya tapi wajahnya mulai terbentuk. Matanya lebih besar dan kini terletak di bagian depan muka untuk mempersiapkan kemampuan melihatnya. Pembuluh air mata juga telah terbentuk pada Minggu ke delapan dan telinganya yang terletak di leher berlahan-lahan jari-jari tangan dan kaki tampak jelas meskipun masih diliputi selaput tipis.

Walaupun jenis kelamin bayi telah ditentukan sejak konsepsi, namun belum dapat diketahui hingga Minggu ke-9 setelah alat kelaminnya muncul, dan jenis kelaminnya dapat dibedakan sejak fetus berusia 12 minggu. Pada Minggu ke-12 fetus sudah terbentuk sempurna, kini panjangnya sekitar 8,5 cm. Kantong amniotik berisi 100 ml cairan amniotik. Kepala fetus kini tampak membulat, leher dan wajahnya telah terbentuk, dan telinganya sudah berada di tempat yang tepat. Bila dahi fetus disentuh, maka kepalanya akan berpaling dan keningnya berkerut. Fetus telah mampu menelan dan menggerakkan bibir atasnya. Kini bagian luar alat kelamin fetus sudah cukup berkembang sehingga sudah bisa dilihat dan ditetapkan jenis kelaminnya.

Pertumbuhan tangan janin pada Minggu ke-12 yakni mula-mula berupa kuncup di ujung lengan lalu diakhir Minggu ke-4 pada Minggu ke-6 tampak seperti dayung beralur-alur yang kelak akan berbentuk jari, Lalu jaringan alur-alur tadi memecah dan membentuk jari-jari dan pada Minggu ke-7, jari-jari telah terbentuk Ujungnya tampak bengkak , karena pembentukan lapisan peraba. Kuku jari berbentuk, mulai Minggu ke-10; mula-mula dilapisi selaput kulit tipis, tapi kukunya belum sempurna hingga usia janin mencapai Minggu ke-32. Pada Minggu ke-12 jari-jari janin telah berbentuk seluruhnya.

Pada usia 16 minggu panjang janin sekitar 14 cm, beratnya sekitar 130g, tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus yang disebut lanugo (latin : lana, wol). Fungsi lanugo belum diketahui. Mula-mula lanugo tumbuh pada alis mata dan bibir bagian atas tapi pada minggu ke 20 mulai menutupi seluruh tubuh.

Pada Minggu ke 16, vernix caseosa, sal licin berwarna putih mulai terbentuk.
Dapat terlihat jelas di wajah dan kulit kepala pada Minggu ke 18. mula-mula muncul di punggung, rambut dan lipatan sendi, namun kemudian menutupi seluruh tubuh. Lapisan luar yang terbentuk pada bagian kulit tapak kaki dan jari-jarinya, juga tangan dan jari-jarinya memiliki pola khusus pada setiap manusia. Pada Minggu ke 28, panjang fetus menjadi kira-kira 1,1 kg. Antara Minggu ke 26 dan 29, kelopak matanya sudah tumbuh, sementara rambut di kepalanya sudah panjang, lanugo mulai menghilang dan warna kulitnya berubah dari merah menjadi warna kulit manusia umumnya. Pada Minggu ke 28, testis bayi lelaki yang mulanya di perut mulai turun ke bawah, dan mencapai scrotum pada Minggu ke 32, testis pada bayi.




Tabel perkembangan fetus

Usia Keterangan
bulan ke 3

 panjangnya 40 mm
 Janin sudah mempunyai sistem organ seperti yang dipunyai oleh orang dewasa.
 genitalnya belum dapat dibedakan antara jantan dan betina dan tampak seperti betina serta denyut jantung sudah dapat didenga
bulan ke 4  panjang 56 mm
 Kepala masih dominan dibandingkan bagian badan
 genitalia eksternal nampak berbeda.
 minggu ke 16 semua organ vital sudah terbentuk. Pembesaran uterus sudah dapat dirasakan oleh ibu.
bulan ke 5
 panjang112 mm
 akhir bulan ke 5 ukuran fetus mencapai 160 mm.
 Muka nampak seperti manusia dan rambut mulai nampak diseluruh tubuh (lanugo).
 Pada yang jantan testis mulai menempati tempat dimana ia akan turun ke dalam skrotum
 Gerakan janin sudah dapat dirasakan oleh ibu
 Paru-paru sudah selesai dibentuk tapi belum berfungsi.


bulan ke 6
 ukuran tubuh sudah lebih proporsional tapi nampak kurus
 organ internal sudah pada posisi normal

bulan ke 7  janin nampak kurus, keriput dan berwarna merah
 Skrotum berkembang dan testis mulai turun untuk masuk ke skrotum, hal ini selesai pada bulan ke 9.
 system saraf berkembang sehingga cukup untuk mengatur pergerakan fetus, jika dilahirkan 10% dapat bertahan hidup
Bulan ke 8  testis ada dalam skrotum dan tubuh mulai ditumbuhi lemak sehingga terlihat halus dan berisi
 Berat badan mulai naik jika dilahirkan 70% dapat bertahan hidup.

bulan ke 9  janin lebih banyak tertutup lemak (vernix caseosa
 Kuku mulai nampak pada ujung jari tangan dan kaki.
Bulan ke 10  tubuh janin semakin besar maka ruang gerak menjadi berkurang dan lanugo mulai menghilang
 Percabangn paru lengkap tapi tidak berfungsi sampai lahir.Induk mensuplai antibodi plasenta mulai regresi dan pembuluh darah palsenta juga mulai regresi.

C. Perkembangan Sistem Organ

1. Susunan Saraf Pusat
Neurulasi adalah pembentukan lempeng neural (neural plate) dan lipatan neural (neural folds) serta penutupan lipatan ini untuk membuat neural tube, yang terbenam ke dalam dinding tubuh dan berdiferensiasi menjadi otak dan korda spinalis. Neural tube terbentuk sempurna pada akhir Minggu ke 4. notokord yang sedang terbentuk memicu ektoderm di atasnya untuk menebal dan membentuk lempeng neural, yaitu lempeng sel neuroepitel yang mirip sandal dan meninggi. Lempeng ini menghasilkan susunan sarap pusat.

Pada pertengahan Minggu ke 3, timbul neural groove (arul neural) di bagian tengah lempeng meural. Di kedua sisi alur terdapat lipatan neural yang membesar di ujung kranial sebagai awal pembentukan otak. Mesoderm paraksial berdiferensiasi untuk membentuk pasangan blok jaringan / somit. Somit berdiferensiasi menjadi sklerotom, miotom dan dermtom, yang masing-masing menghasilkan tulang rangka sumbu, otak rangka dan dermis kulit. Jumlah somit menunjukkan usta mudtgah. Organ sensorik untuk janin berkembang sekitar pertengahan masa gestasi.

2. Sistem Pencernaan
Antara Minggu ke 6 dan 8 perkembangan proliferasi sel epitel yang melapisi bagian dalam lumen menyebabkan obliterasi yang kemudian secara bertahap mengalami regionalisasi. Pertumbuhan awal usus sangat cepat sehingga usus keluar ke dalam rongga amnion. Enzim pencernaan terdapat di sekitar Minggu ke 24 – 28, dengan pengecualian laktasi. Koordinasi peristaltik usus janin mulai jelas pada Minggu ke 14. Pada Minggu ke 34 sudah terjadi koordinasi mengisap, menelan, dan peristalsis. Usus mulai menghasilkan mukus yang akhirnya akan diperlukan untuk melancarkan lewatnya makanan dan fases selama transit. Mukus menumpuk di usus janin sebagai mekonium.

3. Wajah
Wajah terbentuk antara Minggu ke 5 dan 12 dari arkus brakialis. Hidung tumbuh sebagai pilar jaringan mata terbentuk dari kombinasi jaringan saraf dan ektoderm khusus. Telinga mula-mula terletak rendah. Di bawah hidung tonjolan maksilaris meluas untuk membentuk dasar hidung dan atap mulut. Bibir atas terbentuk dari tonjolan yang meluas untuk bertemu di bagian tengah. Fusi prosesus maksilaris yang tidak memadai menyebabkan malformasi kongenital mulut fusi palatuom sempurna pada Minggu ke 11.




4. Tengkorak
Tengkorak terbentuk dari jaringan mesenkim di sekitar otak. Tengkorak di bentuk dari neurokranium yang melindungi otak dan viserokranium yang membentuk kerangka wajah. Tiap-tiap elemen tengkorak ini memiliki komponen dan kartilaginosa pada janin. Tulang datar pada kavaria disatukan untuk sutura fibrosa lunak yang berbuat dari jaringan ikat padat yang memungkinkan adanya fleksibilitas. Di t4 sutura-sutura bertemu terbentuk enam fontanel (ubun-ubun) membranosa besar. Fontanel posterior menutup sekitar 3 bulan setelah lahir dan fontanel posterior menutup saat bayi berusia sekitar 18 bulan.

5. Sistem Kardiovaskular
Merupakan sistem yang pertama terbentuk beberapa sel di mosederm yolk sac kehilangan perlekan dan mulai bergerak membentuk kelompok yang disebut pulau darah. Pulau-pulau darah menyatu, membentuk saluran pembuluh darah yang saling berhubungan untuk membentuk rute yang jelas. Organisasi rute melintas yolk sac serupa dengan organisasi geografis delta sungai tempat arus lemah berkonvolusi dan bergabung.

Jantung primitif berkembang dari “tapal kuda” mesoderm embrionik. Sebelah anterior lempeng prokrodal dan membentuk dua saluran di tiap sisi usus depan membentuk sebuah tabung jantung tunggal. Atrium primitif terbentuk saat aliran dari vena umbilikus dan plasenta menyatu dengan pembuluh darah dari kepala hingga menghasilkan volume darah terbesar. Bentuk khas jantung dihasilkan oleh aliran sel darah di dalam saluran pembuluh yang menyebabkan tabung jantung mengambil bentuk lengkung huruf S yang akhirnya berbentuk jantung.

Pada hari ke-21 sel yang mengelilingi jantung berdiferensi menjadi sel miokardium yang mampu menghasilkan respons hingga jantung yang terdiri atas 4 rongga berurutan mulai berdenyut. Susunan matang rongga jantung tercapai oleh pertumbuhan ke dalam septum ke arah bantalan atrioventrikel sentral di bagian tengah. Pertumbuhan jantung janin sebagian bergantung pada after load yang meningkat oleh faktor yang menyebabkan peningkatkan impedansi plasenta.
6. Sistem Pernafasan
Trakea dan bronkus utama tumbuh sebagai kantung keluar pada saluran pencernaan, perkembangannya bergantung pada interaksi antara tonjolan endoderm dari usus depan yang sedang tumbuh dan mesoderm splantik yang diinvasinya sekitar hari ke-22 dan mengalami percabangan antara hari ke-26 dan 28. Pada Minggu ke-5 perkembangan terbentuk tonjolan sekunder di cabang kanan x 2 di cabang kiri, yaitu lobus primitif paru. 4 tahapan dalam perkembangan sistem pernafasan ; fase mudigah (dari Minggu ke 3-ke 37), fase pseu dokanalikularis (Minggu ke-7 – ke-16), fase kanalikularis (mg 16 – ke 24) dan kantung terminal (mg ke 24 sampai lahir)

7. Sistem Perkemihan
Berkembang dari mesoderm intermeitat dan saling berkaitan erat dengan kelamin selama perkembangan masa janin terbentuk 3 pasang ginjal ; pronetroi, mesonefroi dan metanefroi.
1. Pronetroi  merupakan struktur transien nonfungsional yang muncul hanya selama beberapa Minggu
2. Mesonefroi  muncul pada Minggu ke-4 berfungsi sebagai ginjal antara sampai akhir periode mudigah
3. Metanefro 5  terbentuk mulai Minggu ke-5 dan mulai berfungsi sekitar 4 minggu kemudian
Janin menghasilkan sampai sampai 600 ml urine perhari. Urine menjadi sumber utama cairan amnion dan juga dihasilkan oleh membran amnion dan paru janin. Janin menelan sebagian besar cairan amnion

8. Otot dan Tungkai
Otot yang pertama terbentuk : otot punggung dari pasangan somit. Pembentukan tulang berkaitan erat dengan pertumbuhan otot dan sambungan saraf dari korda spinalis. Anggota badan mulai tampai sebagai tonjolan yang berkaitan dengan somit tertentu pada Minggu ke-4 perkembangan. Tonjolan anggota badan dibentuk dari migrasi sel otot dari miotom. Osifikasi perubahan ke struktur tulang dimulai sejak usia 8 minggu tapi tetap belum sempurna saat lahir. Menonjolnya jumlah tulang rawan di kerangka, mempermudah pengeluaran janin saat melahirkan. Pada Minggu ke-9 kerangka tubuh hampir sempurna walaupun tulang tengkorak masih terus dibentuk.
D. Proses Terbentuknya janin laki-laki dan perempuan
Proses terbentuknya janin laki-laki dan perempuan dimulai dari deferensiasai gonad. Awalnya sel sperma yang berkromosom Y akan berdeferensiasi awal menjadi organ jantan dan yang X menjadi organ betina. Deferensiasi lanjut kromosom Y membentuk testis sedangkan kromosom X membentuk ovarium. Proses deferensiasi menjadi testis dimulai dari degenerasi cortex dari gonad dan medulla gonad membentuk tubulus semineferus. Di celah tubulus sel mesenkim membentuk jaringan intertistial bersama sel leydig. Sel leydig bersama dengan sel sertoli membentuk testosteron dan duktus muller tp duktus muller berdegenerasi akibat adanya faktor anti duktus muller, testosteron berdeferensiasi menjadi epididimis, vas deferent, vesikula seminlis dan duktus mesonefros. Karena ada enzim 5 alfareduktase testosteron berdeferensiasi menjadi dihidrotestosteron yang kemudian pada epitel uretra terbentuk prostat dan bulbouretra. Selanjutnya mengalami pembengkakan dan terbentuk skrotum. Kemudian testis turun ke pelvis terus menuju ke skrotum. Mula-mula testis berada di cekukan bakal skrotum saat skrotum makin lama makin besar testis terpisah dari rongga pelvis.
Sedangkan kromosom X yang telah mengalami deferensiasi lanjut kemudian pit primer berdegenerasi membentuk medula yang terisi mesenkim dan pembuluh darah, epitel germinal menebal membentuk sel folikel yang berkembang menjadi folikel telur. Deferensiasi gonad jadi ovarium terjadi setelah beberapa hari defrensiasi testis. Di sini cortex tumbuh membina ovarium sedangkan medula menciut. PGH dari placenta mendorong pertumbuhan sel induk menjadi oogonia, lalu berplorifrasi menjadi oosit primer. Pada perempuan duktus mesonefros degenerasi. Saat gonad yang berdeferensiasi menjadi ovarium turun sampai rongga pelvis kemudian berpusing sekitar 450 letaknya menjadi melintang.
Penis dan klitoris awalnya pertumbuhannya sama yaitu berupa invagina ectoderm. Klitoris sebenarnya merupakan sebuh penis yang tidak berkembang secara sempurna. Pada laki-laki evagina ectoderm berkembang bersama terbawanya sinus urogenitalis dari cloaca.


IV. PLASENTA

Plasenta pada umumnya:
1. Bentuk bundar atau oval
2. Diameter 15-25 cm,tebal 3-5 cm
3. Berat rata-rata 500-600 gr
4. Insersi tali pusat dapat di tengah/sentralis, di samping/lateralis atau di ujung tepi/marginalis
5. Di sisi ibu, tampak daerah yang agak menonjol (kotiledon) yang diliputi selaput tipis desidua basalis
6. Di sisi janin,tampak tampak sejumlah arteri dan vena besar(sinus)menuju tali pusat.Korion diliputi oleh omnion.
7. Sirkulasi darah ibu di plasenta sekitar 300cc/menit (20 mnggu) meningkat sampai 600-700 cc/mnt (aterm)

A. Anatomi

1. Stuktur plasenta:
Permukaan maternal
Terletak setelah uerus,terkubur dalam desidua.Villi chorion tersusun dalam lobi atau cotyledon. Alur-alur yang memisahkan cotyledon disebut sulci. Berwarna merah gelap. Spatia intervillosa berisi kira-kira 150 ml darah yang diganti paling sedikit tiga kali setiap menit.

Permukaan fetal
Permukaan ini menghadap bayi di dalam kandungan dan dapat dibedakan pada pengamatan setelah kelahiran dengan warnanya yang abu-abu kebiruan dan permukaan yang halus dan mengkilap. Funiculus umbilicalis berinsersi pada permukaan ini, biasanya di bagian tengah,dan pembuluh-pembuluh darah dapat dilihat menyebar dari funiculus umbilicalis kemudian menghilang karena terkubur di dalam plasenta sebelum mencapai tepi plasenta.

2. Bagian-bagian plasenta:
a. Kotiledon, daerah yang menonjol kea rah uterus pada plasenta dengan alur-alur yang disebut sulci.
b. Membran Amnion, merupakan membrane trasparan yang kuat dan sangat sulit dirobek. Membran ini membatasi cavitas amniotica dan mensekresi cairan amnion.
c. Chorion membrane yang tipis dan rapuh dan dilapisi oleh sel mesoderm di bagian dalam.
d. Arteri umbilikalis spiral
e. Vena umbilikalis sentralis
f. Tali pusat
g. Sinus marginalis, suatu ruang vena tempat menampung darah yang berasal dari ruang interviller.
h. Pembuluh darah ibu
i. Septum plasenta
j. Stratum spongomosium
k. Jelly Whartons

B. Fungsi plasenta

Pada prinsipnya plasenta fungsi plasenta adalah menjamin kehidupan dan pertumbuhan janin yang baik.
Fungsi plasenta:
Sistem pertukaran
Nutrien : Memberikan bahan makanan pada janin.
Ekskresi : Mengalirkan keluar sisa metabolisme janin
Respirasi : Memberikan O2 dan mengeluarkan CO2 janin
Endokrin : Menghasilkan hormon-hormon
Imunologi : Menyalurkan berbagai komponen antibodi ke janin
Farmakologi : Menyalurkan obat-obatan yang mungkin diperlukan janin
yang diberikan melalui ibu
Proteksi : Barrier terhadap infeksi bakteri dan virus



C. Perkembangan Plasenta

1. Morula
Perkembangan plasenta dimulai dari pertumbuhan morula.Morula dihasilkan dengan reproduksi yang berlanjut dari sel-sel zigot sehingga menyrupai buah murbei. Pembelahan sel ini dibantu oleh progesteron dari corpus luteum yang bersama-sama dengan estrogen menyiapkan endometrium untuk menerima ovum yang telah dibuahi pada stadium delapan sel, morula ini mempunyai diameter kira-kira 2 mm dan mengandung lebih dari 1000 macam protein. Morula ini masih berada dalam cangkangnya, dan ditopang oleh sitoplasamanya sendiri yang mengandung progesteron

2. Hari ke 6-7
Morula yang sedang tumbuh ini mendekati endometrium yang berada fase sekresi. Morula tadi mulai masuk ke dalam endometrium.
Pada akhir minggu pertama, sejumlah sel dalam pada morula mulai mengalami disintegrasi,meninggalkan ruang yang terisi cairan. Sel ini sekarang disebut blastocyst.

3. Hari ke 7-8
Sel-sel trofoblas yang terletak di atas embrioblas yang berimplentasi di endometrium dinding uterus, mengadakan proliferasi dan berdiferensiasi menjadi dua lapis yang berbeda:
1. Sitotrofoblas : terdiri dari selapis sel kuboid, batas jelas,intin tunggal,di sebelah dalam (dekat embrioblas)
2. Sinsiotrofoblas : terdiri dari selapis sel tanpa batas jelas, di sebelah luar(berhubungan dengan stroma endometrium). Unit trofoblas ini akan berkembang menjadi Plasenta.

Di antara massa embrioblas dengan lapisan sitotrofoblas terbentuk suatu celah yang makin lama makin besar, yang nantinya akan menjadi Rongga Amniom.
Sel-sel embriblas juga berdiferensiasi menjadi dua lapis yang berbeda:
1. Epiblas : Selapis sel kolumnar tinggi, di bagian falm, berbatasan dengn bakal rongga amnion
2. Hipoblas : Selapis sel kuboid kecil,di bagian luar,berbatasan dengan rongga blatokista (bakal ronnga kuning telur). Unit sel-sel blast ini akan berkambang menjadi janin.
Pada kutub embrional, sel-sel dari hipoblas membentuk selaput tipis yang membatasi bagian dalam sitotrofoblas (selaput Heuser). Selaput ini bersama dengan hipoblas membentuk dindin g bakal yolk sac(kandung kuning telur). Rongga terjadi disebut rongga eksoselom (exocelome space) atau kandung kuning telur sederhana. Dari struktur-struktur tersebut kemudian akan terbentuk

Kandung kuning telur,lempeng korion,dan rongga korion. Pada lokasi bekas implantasi blastokista di permukaan dinding uterus terbentuk lapisan fibrin sebagai bagian dari proses penyembuhan luka. Jaringan endometrium di sekitar blastokista yang berimplantasi yang berimplantasi mengalami reaksi desidua,berupa hipersekresi,peningkatan lemak dan glikogen, serta edema. Perubahan ini kemudian meluas ke seluruh bagian endometrium dalam kavum uteri.Pada stadium ini,zigot berada dalam stadium bilaminar (cakram berlapis dua).

4. Hari ke 8-9
Terbentuk rongga-rongga vakuola yang banyak pada lapisan sinsiotrofoblas (selanjutnya disebut sinsitium) yang akhirnya disebut stadium berongga (lacunar stage). Pertumbuhan sinsitium ke dalm stroma endometrium makin dalam kemudian terjadi pengrusakan endotel kapilaer sekitarnya, sehingga rongga-rongga sinsitium tersebut dialiri masuk oleh darah ibu membentuk sinusoid-sinusoid. Peristiwa ini menjadi awal terbentuknya sitem sirkulasi ultraplasenta/sistem sirkulasi feto-maternal. Sementara itu, di antara lapisan dalam sitotrofoblas dengan selapis sel selaput Heuser,terbentuk sekelompok sel baru yang berasal dari trofoblas dan membentuk jaringan penyambung yang lembut,yang disebut mesoderm ekstraembrional.Bagian yang berbatasan dengan sitotrofoblas disebut mesoderm ekstraembrional somato pleural,kemudian akan menjadi selaput korion (chorionic plate). Bagian yang berbatasan dengan selaput Heuser dan menutupi bakal yolk sac disebut mesoderm ekstraembrional splanknopleural.
5. Menjelang Hari 13-14
Seluruh lingkaran blatokista telah terbenam dalam uterus dan diliputi pertumbuhan trofoblas yang telah dialiri darah ibu. Di dalam lapisan mesoderm ekstraembrional juga terbentuk celah-celalah yang makin lama makin besar dan bersatu sehingga terjadi rongga yang memisahkan kandung kuning telur makin jauh dari sitotrofoblas. Rongga ini disebut rongga selom ekstraembrional (extraembryonal coelomic space) atau rongga korion (chorionic space). Di sisi embrioblas (kutub embrional), tampak sel-sel kuboid lapisan sitotrofoblas mengadakan invasi ke arah lapisan sinsitium membentuk sekelompok sel yang dikelilingi sinsitium disebut jonjot-jonjot primer (primary stem villi). Villi menyebabkan pecahnya vasa-vasa darah maternal saat bangunan-bangunan tadi mengerosi jaringan endometrium dan ruang-ruang tadi dengan demikian akan terisi dengan darahj materna

6. Minggu ke-3
Selama minggu ke-3 terjadi percabangan villi chorion primitive.Cabang-cabang ini disebut villi chorion primitif sekunder,dan di dalamnya mulai terbentuk pembuluh darah. Disebut villi korion tersier apabila jonjot-jonjot yang tadinya hanya selular kemudian menjadi suatu jaringan vaskular. Rongga korion makin luas sehingga jaringan embrional makin terpisah dari selaput korion,hanya dihubungkan oleh sedikit jaringan mesoderm yang kemudian menjadi tangkai penghubung (connecting stalk) yang kemudian berkembang menjadi tali pusat.

Vasa di dalam tangkai ini berkembang untuk membentuk dua arteri umbilicalis dan satu vena umbilicalis untuk fetus.Sejumlah villi korion terus terkubur lebih dalam di dalam desidua dan disebut villi anchorales (anchoring villi). Villi anchorales ini tidak mengandung pembuluh darah karena fungsinya hanyalah menstabilkan plasenta yang sedang berkembang. Villi yang lain dipercabangkan di sini dan ruang-ruang antara villi-villi disebut spatia intervillosa.

Setelah infiltrasi pembuluh darah trofoblas ke dalam sirkulasi uterus,seiring dengan perkembangan trofoblas menjadi plasenta dewasa,terbentuklah komponen sirkulasi utero-plasenta. Melalui pembuluh darah tali pusat,sirkulasi utero-plasenta dihubungkan dengan sirkulasi janin.Meskipun demikian,darah ibu dan darah janin tidak bercampur menjadi satu (system hemochorial) tetap terpisah oleh dinding pembuluh darah janin dan chorion. Dengan demikian, komponen sirkulasi dari ibu (maternal) berhubungan dengan komponen sirkulasi dari janin (fetal) melalui plasenta dan tali pusat. Sistem ini disebut sirkulasi feto-maternal.

Desidua berdiferensiasi menjadi 3 daerah:
1. Desidua basalis terletak di bawah daerah tempat villi korion mula-mula terkubur.
2. Desidua capsularis terletak di atas saccus embryonalis.
3. Desidua vera (parientalis) menutupi sisa cavitas uteri.

7. Minggu ke-5
Plasenta mensekresikan hormone chorionic somatomammotropin dan sekresinya meningkat progresif sepanjang sisa kehamilan.
Fungsinya antara lain:
• Bila diberikan kepada beberapa jenis hewan tingkat rendah yang berbeda, human chorionic somatomammotropin sedikitnya akan menyebabkan perkembangan sebagian mammae dan pada beberapa keadaan menyebabkan laktasi.
• Hormon ini mempunyai kerja yang lemah yang serupa dengan hormone pertumbuhan yang menyebabkan deposit protein dengan cara yang sama seperti hormone pertumbuhan.
• Menyebabakan penurunan sensitivitas insulin dan menurunkan penggunaan glukosa pada ibu.
• Meningkatkan pelepasan asam lemak bebas dari cadangan makanan ibu sehingga menyediakan sumber energi pengganti untuk metabolisme ibu.

8. Minggu ke-8
Sampai minggu ke-8 kehamilan, villi korion mengelilingi seluruh saccus embryonalis. Dari akhir minggu ke-8, plasenta primimtif telah mensekresi estrogen, progesteroon, dan relaksin.

Chorionic leave
Desidua capsularis terus-menerus terdorong keluar ke dalam cavitas uteri sampai desidua taditerletak berdekatan dengan desidua vera. Saat korion leave terletak pada permukaan dalam desidua capsularis, maka korion ini juga melapisi cavitas uteri dan berkembang untuk membentuk membrane plasenta yang disebut chorion.

Chorion frondusum
Villi yang tertanam dalam di dalm desidua basalis akan terikat erat pada kehamilan 12 minggu sehingga menstabilkan plasenta yang sedang berkembang.

9. Minggu ke-9
Pada saat villi korion tertanam di dalam dinding uterus,maka dihasilkan hormone yang disebut gonodotrofin chorion (chorionic gonodotrofin atau hCG).

10. Minggu ke-14
Struktur plasenta berkembang penuh dan plasenta tadi menempati kira-kira sepertiga dinding uterus.

11. Minggu ke-16
Dari minggu ke-16 dan seterusnya maka jumlah dan ukuran vasa darah meningkat sedangkan dinding-dinding villinya menjadi lebih tipis sehingga selama trimester tengah,permeabilitas plasenta meningkat.Walaupun demikian,selama 4 minggu terakhir kehamilan,vasa tadi berkurang lagi karena terdapat deposit (timbunan) fibrin di dalam jaringan-jaringan ini.

12. Minggu ke-20
Setelah minggu ke-20,plasenta terus bertambah luas,tetapi tidak bertambah tebal, sampai pada kehamilan cukup umur (a’term) diameternya kira-kira 23 cm, merupakan organ yang bulat, datar, dengan ketebalan 2 cm di bagian tengahnya,tetapi lebih tipis di bagian tepinya.


D. Tali pusat

Mesoderm connecting stalk yang juga memiliki kemampuan angiogenik,kemudian akan berkembang menjadi pembuluh darah dan connecting stalk tersebut akan menjadi tali pusat. Pada tahap awal perkembangan,rongga perut masih teralalu kacil untuk usus yang berkembang sehingga sebagian usus terdesak ke dalam rongga selom ekstraembrional pada tali pusat. Pada sekitar akhir bulan ketiga,penonjolan lengkung usus (intestional loop) ini masuk kembali ke dalam rongga abdomen janin yang telah membesar.

Kandung kuning telur dan tangkai kandung kuning telur (ductus vitellinus) yang terletak dalam rongga korion, yang juga tercakup dalam connecting stalk, juga tertutup bersamaan dengan proses semakin bersatunya amnion dengan korion.
Setelah struktur lengkung usus,kandung kuning telur dan duktus vitellinus menghilang,tali pusat akhirnya hanya mengandung pembuluh darah umbilical (2 arteri umlikalis dan 1 vena umbilikalis) yang menghubungkan sirkulasi janin dengan plasenta.Pembuluh darah umbilical ini diliputi oleh mukopolisakarida yang disebut Wharton’s jelly.

Selaput Janin (Amnion dan Korion)
Pada minggu-minggu pertama perkembangan, villi meliputi seluruh lingkaran
permukaan korion. Dengan berlanjutnya kehamilan :
• Jonjot pada kutub embrional memebentuk struktur korion lebat seperti semak-semak (chorion frondusum) sementara
• Jonjot pada kutub abembrional mengalami degenerasi,menjadi tipis dan halus disebut chorion leave.

Seluruh jaringan endometrium yang telah mengalami reaksi desidua juga mencerminkan perbedaan pada kutub embrional dan abembrional pada minggu ke-3. Antara membrane korion dengan membran amnion terdapat rongga korion. Dengan berlanjutnya kehamilan, rongga ini tertutup akibat persatuan membran amnion dan membrane korion. Selaput janin selanjutnya disebut sebagai membrane korion-amnion (amniochorionic membrane). Kavum uteri juga terisi oleh konsepsi sehingga tertutup oleh persatuan chorion leave dengan desidua parientalis.
E. Cairan Amnion

Rongga yang diliputi selaput janin disebut sebagai rongga amnion.Di dalam ruangan ini terdapat cairian amnion (likuor amnii).Asal cairan amnion diperkirakan terutama disekresi oleh dinding selaput amnion/plasenta, kemudian setelah sistem urinarius janin terbentuk, urin janin yang diproduksi juga di keluarkan ke dalam rongga amnion.
Fungsi cairan amnion:
• Proteksi : melindungi janin terhadap trauma dari luar
• Mobilisasi : memungkinkan ruang gerak bagi janin
• Homeostatis : menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam-basa dalam rongga amnion,untuk suasana lingkungan yang optimal bagi janin
• Mekanik : menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruangan intrauterine
• Pada persalinan : membersihkan/melicinkan jalan lahir,dengan cairan yang steril sehingga melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir

Keadaan normal cairan amnion :
1. Pada usia kehamilan cukup bulan,volume 1000-1500 cc
2. Keadaan jernih agak keruh
3. Steril
4. Bau khas, agak manis dan amis
5. Terdiri dari 98-99% air,1-2% garam-garam anorganik dan bahan organik (protein terutama albumin), runtuhnya rambut laguno, vernix caseosa dan sel-sel epitel.
6. Sirkulasi sekitar 500 cc/jam




DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC : Jakarta.

Sadler, TW. 1987. Embriologi Kedokteran Langman Edisi ke-7 terjemahan. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

Sastrawinata, Sulaiman1983.Obsetri Fisiologi.Percetakan Penerbitan ELEMAN : Bandung.

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

Wiknojosastro, Hanifa.2007. Ilmu Kebidanan.Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo : Jakarta
READ MORE - PROSES PEMBENTUKAN JANIN ,PROSES KEHAMILAN,PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FETUS

PURPURA TROMBOSITOPENIA IDIOPATIK

PENDAHULUAN

Purpura Trombositopenik Idiopatik (PTI) adalah suatu kelainan yang mempunyai ciri khas bcrupa : trombositopenia, jumlah megakariosit normal atau meningkat, dan tidak ditemui keadaan-keadaan yang mungkin merupakan pcnycbab seperti reaksi obat, infeksi aktif, DIC, splenomegali dan penyakit-penyakit jaringan ikat (1,2)

Sejak Paul Gottlieb Werlhof melukiskan gambaran penyakit PTI ini dan menamakannya Morbus Maculous, penelitian mengenai penyebab yang spesifik masih terus berlanjut. Dalam tiga dekade terakhir ini telah dapat diketahui bahwa penyebabnya berkaitan erat dengan proses imun dalam tubuh(3,4), dan sekarang ini Purpura Trombositopenik Idiopatik telah suing disebut sebagai Purpura Trombositopenik Immun
(5,6)

Penyakit PTI mempunyai 2 bentuk, yang akut dan kronik. Bentuk akut lebih sering terjadi pada anak, dan biasanya pada usia 2¬6 tahun, atau rata-rata di bawah 10 tahun (7,8). Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan adalah 1:1 (1,2). Kira-kira 80% bentuk akut mengalami remisi spontan setclah 4¬6 minggu perjalanan penyakit. Beberapa kasus remisi dalam 6 bulan, dan sisanya setelah 6¬12 bulan, bahkan ada yang berulang atau tidak pemah mengalami remisi sama sekali, sehingga menjadi kronik(4,9)

Bentuk kronik lebih sering terjadi pada orang dewasa, sedangkan pada anak bisa merupakan lanjutan dari bentuk akut; ditemukan secara kebetulan berupa purpura dan epistaksis, umumnya ditemui pada usia lebih dari 10 tahun (2,8)

Insidens penyakit ini belum dikctahui dan di Indonesia laporan mengenai PTI masih jarang sekali. Splenektomi masih mcrupakan cara pengobatan terpilih PTI kronik anak meskipun prosedur pclaksanaannya memerlukan banyak pertimbangan seperti adanya indikasi-kontra dan penyulit yang mungkin terjadi. Ternyata ± 15-20% penderita pasca splenektomi masih tetap dalam keadaan trombositopenia(1,2)

Penelitian mengenai penyebab yang spesifik serta mekanisme terjadinya trombositopenia pada PTI masih belum berakhir, dan sekarang ini telah diperoleh satu cara pengobatan PTI kronik anak dengan mcnggunakan Immunoglobulin dosis tinggi (9,10,11)

Penggunaan Immunoglobulin dosis tinggi telah merupakan suatu altematif lain di samping splenektomi. Dalam tulisan ini akan diuraikan bcberapa hal sehubungan
dengan splcncktomi dan pcnggunaan Immunoglobulin dosis tinggi pada penanganan PTI kronik anak.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Trombositopenia pada PTI disebabkan terjadinya kerusakan yang berlebihan dari trombosit sedangkan pembentukannya normal atau meningkat(5,8) Kerusakan ini mungkin disebabkan oleh faktor yang heterogen, sampai saat ini belum diperoleh kesepakatan mengenai mekanismenya. Harrington (1951) menyimpulkan bahwa kerusakan trombosit disebabkan adanya Humoral antiplatelet factor di dalam tubuh (8), yang saat ini dikenal sebagai PAIgG atau Platelet Associated IgG (12,13,14)

Court dan kawan-kawan telah membuktikan bahwa PAIgG meningkat pada PTI, sedangkan Lightsey dan kawan-kawan menemukan PAIgG lebih tinggi pada PTI akut dibanding bentuk kronik. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mekanisme kerusakan trombosit pada bentuk akut dan kronik (5,8)

PAIgG diproduksi oleh limpa dan sumsum tulang. Kenaikan produksi PAIgG adalah akibat adanya antigen spesifik terhadap trombosit dan megakariosit dalam tubuh. Pada bentuk akut antigen spesifik diduga bersumber dari infeksi virus yang terjadi 1-6 minggu sebelumnya. Antigen ini bersama PAIgG membentuk kompleks antigen-antibodi, dan selanjutnya melekat di permukaan trombosit. Perlekatan ini menyebabkan trombosit akan mengalami kerusakan akibat lisis atau penghancuran oleh sel-sel makrofag di RES yang terdapat di hati, limpa, sumsum tulang dan getah bening (8). Kerusakan yang demikian cepat dan jumlah yang besar menyebabkan terjadinya trombositopenia yang berat diikuti manifestasi perdarahan. Bentuk PTI kronik bisa merupakan kelanjutan dari bentuk akut. Pada bentuk kronik ini ternyata PAIgG tetap tinggi walaupun kompleks antigen-antibodi dikeluarkan dari tubuh, meskipun tidak setinggi pada bentuk akut. Keadaan demikian diduga berhubungan erat dengan konstitusi genetik yang spesifik dari sistim immunologik penderita, dimana peninggian PAIgG disebabkan adanya autoantigen pada membran trombosit atau oleh antigen spesifik yang melekat pada permukaan trombosit(14,15,16)

Selain oleh konstitusi genetik spesifik, peninggian PAIgG bisa juga disebabkan oleh kelainan pada mekanisme immunologik sehingga pembentukan PAIgG terus berlanjut (8)

DIAGNOSIS

Umumnya pasien dibawa berobat dengan keluhan bercak-bercak perdarahan pada kulit anggota gerak berupa petekia, ekimosis atau memar. Kadang-kadang berupa epistaksis, dan perdarahan gusi atau saluran pencernaan dan saluran kemih. Pada bentuk akut biasanya didahului oleh infeksi virus 1-6 minggu sebelumnya (2,9) sedangkan pada bentuk kronik bisa merupakan lanjutan bentuk akut, atau ditemukan secara kebetulan sewaktu datang berobat dengan keluhan lain

Pada pemeriksaan fisik umumnya si anak tak tampak sakit, kecuali adanya petekia atau perdarahan gusi. Organomegali umumnya tidak dijumpai. Pada pemeriksaan laboratorik, test Rumpel Leede (+), hitung trombosit sangat rendah, waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan abnormal. Sedangkan hasil pemeriksaan punksi sumsum tulang memberi gambaran megakariosit normal atau bertambah. Secara klinis dapat dibagi dalam 3 tingkat

Ringan : hanya petekia.
Sedang : ekimosis, epistaksis dan gross hematuria.
Berat : purpura berat, atau perdarahan retina.

DIAGNOSIS BANDING DAN PENYULIT

Pemeriksaan punksi sumsum tulang merupakan pemeriksaan yang panting untuk membedakan dengan penyebab trombositopenia lain, seperti Anemia Aplastik, Leukemia Limfositik Akut, dan Purpura Trombositopenik Trombotik (1)

Penyulit yang mungkin terjadi pada PTI kronik antara lain adalah perdarahan saluran cema, perdarahan saluran kemih, sindrom disfungsi serebral minimal, dan perdarahan kapiler intrakranial (1)

PENATALAKSANAAN PTI KRONIK ANAK

Selama ini splenektomi masih merupakan cara terpilih dalam pencananganan PTI kronik. Saat ini telah dilaporkan oleh beberapa peneliti tentang manfaat penggunaan Immunoglobulin dosis tinggi pada PTI kronik anak. Apakah penggunaan immunoglobulin dosis tinggi pada PTI kronik dapat menggantikan tindakan splenektomi, atau hanya sekedar melengkapi kekurangan yang terdapat pada splenektomi; untuk menilainya berikut inidiuraikan kedua cara pengobatan tersebut.

Splenektomi
1) Mekanisme kerja: Seperti telah diketahui, limpa merupakan salah satu organ pembentuk PAIgG, dan sebaliknya juga merupakan tempat penghancuran PAIgG tersebut. Dengan diangkatnya limpa diharapkan pembentukan PAIgG berkurang, dan penghancuran PAIgG atau trombosit di limpa tidak ada lagi; akibatnya trombosit meningkat, dan permeabilitas kapiler mengalami perbaikan(1,2,8)

2) Indikasi:
a) PTI kronik yang sedang dan berat (1,17)
b) PTI kronik yang diobati secara konservatif ternyata gagal mencapai remisi setelah 6-12 bulan, atau mengalami relaps 2¬3 kali dalam setahun, atau tidak memberi respons terhadap pengobatan konservatif (1,2,8)

3) Indikasi-kontra(2,8) :
a. Penderita PTI kronik yang juga menderita penyakit akut atau berat lainnya.
b. Penderita PTI kronik disertai penyakit jantung atau hal lain yang merupakan indikasi-kontra bagi setiap tindakan bedah.
c. Usia kurang dari 2 tahun, sebab kemungkinan terjadinya infeksi berat atau sepsis sangat besar.

Pasca splenektomi:
Penilaian terhadap basil splenektomi menurut perbaikan klinis dan hitung trombosit dilakukan 6-8 minggu kemudian. Dan hasil yang diperoleh ternyata ± 80% mengalami remisi sempurna (8,9,17)

b) Penyulit pasca splenektomi: Pada masa kurang dari 2 minggu berupa sepsis dan perdarahan, sedangkan lebih dari 2 minggu berupa penyakit infeksi berat(2,9)

4. Biaya splenektomi: tergantung pada keadaan setempat.

Immunoglobulin
Preparat Immunoglobulin yang digunakan mengandung lebih dari 95% gamma-globulin dalam bentuk monomerik. Meskipun kesimpulan akhir mekanisme kerjanya belum terungkap, tetapi ada beberapa pendapat yang telah dikemukakan yaitu :
1. Melindungi permukaan trombosit, membungkusnya dengan Immunoglobulin non spesifik, sehingga PAIgG, antigen spesifik, ataupun antigen-antibodi tidak dapat melekat pada permukaan trombosit (11,18)
2. Menurunkan produksi PAIgG (10,11)
3. Memblokade Fc reseptor di RES (10,18)
4. Dapat mengatasi penekanan trombopoetik yang disebabkan oleh kortikosteroid apabila pengobatan konservatif sebelumnya telah menggunakan preparat ini (19,20)

Indikasi:
1. PTI kronik atau berulang pada anak (10,11)
2. PTI kronik dengan indikasi-kontra splenektomi.
3. Penderita PTI yang telah menjalani splenektomi, ataupun pengobatan konservatif dimana remisi sempuma tidak tercapai (18,21,22)
4. Sebagai persiapan pra bedah terutama bila sebelumnya didapati perdarahan berat. Dalam hal ini diberikan ± 3 minggu sebelum splenektomi dilaksanakan (11)
5. Dapat diberikan pada penderita berobat jalan (19)

Di samping indikasi di atas ternyata Immunoglobulin ini juga bermanfaat pada kasus PTI akut dan Isoitnmune Neonatal Thrombo cytopenia (21,23)

Indikasi-kontra: sampai saat ini belum diperoleh laporan tentang indikasi-kontra penggunaan Immunoglobulin.

Pengamatan dan penilaian:
Berdasarkan perbaikan klinis dan hitung trombosit yang dinilai secara berkala setiap 2-4 minggu. Hasil yang diperoleh tergantung pada respons penderita, biasanya remisi lengkap dicapai dalam 6-12 minggu (10,11,22)

Selama pemberian Immunoglobulin efek samping yang bisa terjadi antara lain sakit kepala, vertigo, mual dan muntah (18) Keterangan tentang adanya penyulit pada pemberian Immunoglobulin belum diperoleh.

Cara dan dosis pemberian:
Pemberian I : 1¬1,5 gram/KgBB/hari intravena, selama 1-4 jam, diberikan dalam 3-5 han berturut-turut. Ulangan : 1-1,5 gram/KgBB intravena, diberikan dengan
interval 1-2 minggu (10,11,12)

Sediaan Immunoglobulin yang telah digunakan antara lain : Gammabulin Immuno dan Endobulin (Vienna, Austria), Sandoglobulin (Basel, Swiss), Gammagard dan Gamimune (California, USA) (10,11,22)

Biaya pengobatan:
Bussel (1985) telah menghitung biaya yang diperlukan menurut harga di New York yaitu ± $ 50 untuk setiap 1 gram Immunoglobulin. Menimbang biaya yang masih tinggi ini para ahli sependapat untuk belum menganjurkan Immunoglobulin sebagai protokol rutin dalam menangani kasus PTI kronik anak (10,19)

KEPUSTAKAAN
1. Wintrobe MM. Quantitative variations of platelets in diseases : Thrombocytopenia and thrombocytosis. In: Clinical Hematology, 7th ed. Philadelphia, Tokyo: Lea & Febiger, Igaku Shoin Ltd. 1974. pp. 1075-88.
2. Wyngaarden JB, Smith CH. Quantitative platelet disorders. In: Cecil. vol I, 16th ed. Philadelphia: WB Saunders Co. Igaku Shoin. 1982. pp. 981-8.
3. Hutchinson JH. Idiopathic thrombocytopenic purpura. In: Practical Pediatric Problems. 5th ed. Lloyd-Luke PG. Asian Economy Edition, 1984. pp. 474-5.
4. Krupp MA, Chatton MJ. Idiopathic thrombocytopenic purpura. In: Current Medical Diagnosis & Treatment. Maruzen Asian Ed. Singapore: Lange. Maruzen. 1984. pp. 140-1.
5. Court WS, Bozeman JM et al. Platelet surface-bound IgG in patients with immune and nonimmune thrombocytopenia. Blood. 1987; 69: 278.
6. Lightsey AL, Koenig HM, Mc Milian R, Stone JR. Platelet-associated immunoglobulin G in childhood idiopathic thrombocytopenic purpura. J Pediatri 1979; 94: 201.
7. Petersdorf RG, Adams RD et al. Idiopathic thrombocytopenic purpura. In: Harrison's Principles of Internal Medicine. 10th Ed. New York: McGraw's Hill International Book Co. 1983; pp. 1895-6.
8. Stuart MJ, McKenna R. Diseases of coagulation : The platelet and vasculature. In: Nathan DE, Oski FA (Eds). Hematology of infancy and child-hood, 2nd Ed. Philadelphia: WB. Saunders 1981. pp. 1234-59.
9. Pearson HA. Diseases of blood : Purpura. In: Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Textbook of Pediatrics, 12th Ed. Philadelphia: WB. Saunders Co. 1983; 102: 366.
10. Bussel JB, Schulman I, Hilgartner MW, Barundun S. Intravenous use of gammaglobulin in treatment of chronic immune thrombocytopenic purpura as a means to defer splenectomy. J Pediatr 1983; 10: 103.
11. Carrot RR, Noyes WD, Kitchens CS. High-dose intravenous immunoglobulin therapy in patients with immune thrombocytopenic purpura. JAMA 1983; 249: 1748.
12. Blumberg N, Masel D, Stoler M. Disparities in estimates of IgG bound to normal platelets. Blood 1986; 67: 200.
13. Cheung N-KV, Hilgartner MW, Schulman I, McFall P, Glader BE. Platelet associated immunoglobulin G in childhood idiopathic thrombocytopenic purpura. J Pediatr 1983; 102: 366.
14. Nai Kong VC, Hilgartner MW et al. Platelet associated Immunoglobulin G in childhood idiopathic thrombocytopenic purpura. J Pediatr 1983; 102: 366.
15. McIntosh S, Johnson C et al. Immunoregulatory abnormalities in children with thrombocytopenic purpura. J Pediatr 1981; 99: 525.
16. Ware Russel, Kinney TR, Rosso W. Platelet antibody in prolonged remission of childhood idiopathic thrombocytopenic purpura. J Pediatr 1985;
17. 107: 908.
18. MacPherson AIS, Richmod J. Planned splenectomy in treatment of idiopathic thrombocytopenia purpura. Br Med J 1975; 1:64.
19. Imbach P, Berchtold W et al. Intravenous immunoglobulin versus oral corticosteroids in acute immune thrombocytopenic purpura in childhood.
20. Lancet 1985; 31: 464.
21. Buchanan GR. Childhood acute idiopathic thrombocytopenic purpura: How many test and how much treatment required. J Pediatr 1985; 106: 6.
22. Engelhard D, Waner JL, Kapoor N, Good RA. Effect of intravenous immunoglobulin on natural killer cell activity : Possible association with
23. autoimmuneneutropenia and idiopathic thrombocytopenia. JPediatr 1986; 108:
24. Bussel JB, Gioldman A, Imbach P, Schulman I, Hilgartner MW. Treatment of acute idiopathic thrombocytopenic of childhood with intravenous in-
25. fusions of gammaglobulin. J Pediatr 1985; 106: 886.
26. Fehr J, Hofman V, Kappeler U. Transient reversal of thrombocytopenia in idiopathic thrombocytopenic purpura by high-dose intravenous gammaglo-
27. bulin. N Engl J Med 1982; 306: 1254.
28. Chirico G, Duse M, Ugazio A, Rondin G. High-dose intravenous gammaglobulin therapy for passive immune thrombocytopenia in the neonate.
READ MORE - PURPURA TROMBOSITOPENIA IDIOPATIK

APPENDISITIS INFILTRAT

TINJAUAN PUSTAKA
APENDISITIS INFILTRAT
Anatomi
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian distal.7 Basis appendiks terletak pada bagian postero medial caecum, di bawah katup ileocaecal. Ketiga taenia caecum bertemu pada basis appendiks. 8,9
Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil. 3,10
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Apendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks.3
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal. 2
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.7
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene. 7
Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.7
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut associated Lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh.7
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks komplit. 2
Definisi
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.13
Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal. 2,8 Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan rupture. 2
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut.7
Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.1
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit binatang yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.2
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. 1,9
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.1
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. 1
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.1
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 7
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.1
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest). 3
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. 7
Manifestasi klinis
Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri beralih kekuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif.1
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umunya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.7
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.7
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya. 7
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. 7
Kelainan patologi Keluhan dan tanda
Peradangan awal


Apenditis mukosa


Radang di seluruh
Ketebalan dinding


Apendisitis komplet radang
Peritoneum parietale apendiks


Radang alat/jaringan yang
Menempel pada apendiks

Perforasi

Pendindingan (Infiltrat)
Tidak berhasil


Berhasil


Abses Kurang enak ulu hati/daerah pusat,
mungkin kolik

nyeri tekan kanan bawah
(rangsaganan automik)

nyeri sentral pindah ke kanan bawah,
mual dan muntah


rangsangan peritoneum lokal (somatik)
nyeri pada gerak aktif dan pasif,
defans muskuler lokal

genitalia interna, ureter, m.psoas, kantung kemih, rektum

demam sedang, takikardia,
mulai toksik, leukositosis


s.d.a + demam tinggi, dehidrasi,
syok, toksik
massa perut kanan bawah, keadaan
umum berangsur membaik

demam remiten, keadaan umum toksik,
keluhan dan tanda setempat

Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi. 7
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. 7
Gambar 5 : Gambaran klinik apendisitis akut
• tanda awal
o nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksi
• nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik McBurney
o nyeri tekan
o nyeri lepas
o defans muskuler
• nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
o nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
o nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
o nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, mengedan

Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah.7
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirawakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. 7
Jika sudah terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama 3-4 hari (waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga pada palpasi akan teraba massa yang fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika apendiks intrapelvinal maka massa dapat diraba pada RT(Rectal Touche) sebagai massa yang hangat.3
Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. 7
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri. 7
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan (tanda bintang). 14
Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan). 14
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam. 14
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks dipelvis yang kontak denhgan otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver. 14
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium, pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri. Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.13


Pemeriksaan Radiologi,
• foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat ”ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan air-udara disekum atau ileum). Patognomonik bila terlihat gambar fekalit.1,3
• USG atau CT Scan. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya peradangan pada apendiks menyebabkan ukuran apendiks lebih dari normalnya (diameter 6mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan bawah seperti inflammatory bowel desease, diverticulitis cecal, divertikulum meckel’s, endometriosis dan pelvic Inflammatory Disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG.14
Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat dibanding USG. Selain dapat mengidentifikasi apendiks yang mengalami inflamasi (diameter lebih dari 6 mm) juga dapat melihat adanya perubahan akibat inflamasi pada periapendik.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya karsinoma colon.5 Tetapi untuk apendisitis akut pemeriksaan barium enema merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan rupture apendiks.3


Diagnosis
Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di region iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abses apendikuler. Penegakan diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun penunjang. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dengan karsinoma sekum, penyakit Crohn, amuboma dan Lymphoma maligna intra abdomen. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekolog seperti Kehamilan Ektopik Terganggu (KET), Adneksitis dan Kista Ovarium terpuntir . Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang khas.7
Tumor caecum, biasanya terjadi pada orang tua dengan tanda keadaan umum jelek, anemia dan turunnya berat badan. Hal ini perlu dipastikan dengan colon in loop dan benzidin test. Pada anak-anak tumor caecum yang sering adalah sarcoma dari kelenjar mesenterium. Pada apendisitis tuberkulosa, klinisnya antara lain keluhan nyeri yang tidak begitu hebat disebelah kanan perut, dengan atau tanpa muntah dan waktu serangan dapat timbul panas badan, leukositosis sedang, biasanya terdapat nyeri tekan dan rigiditas pada kuadran lateral bawah kanan, kadang-kadang teraba massa. 3
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:
1. keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;
2. pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda peritonitis;
3. laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri.
Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan
1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi;
2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan
3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.13
Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya. 15
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.15
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. 7
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi. 13
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum. 13
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. 7
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah.3,7
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.3
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di RT. 3
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :
• LED
• Jumlah leukosit
• Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1. Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
2. Pemeriksaan fisik :
o Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal dan aksiler)
o Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
o Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil dibanding semula.
o Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
1. Bila LED telah menurun kurang dari 40
2. Tidak didapatkan leukositosis
3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
o Apakah penderita sudah bed rest total
o Pemberian makanan penderita
o Pemakaian antibiotik penderita
o Kemungkinan adanya sebab lain.
d. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan, operasi tetap dilakukan.
e. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.3

Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.7
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
• nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
• Suhu tubuh naik tinggi sekali.
• Nadi semakin cepat.
• Defance Muskular yang menyeluruh
• Bising usus berkurang
• Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal.3
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.12


KESIMPULAN
1. Apendisitis infiltrat merupakan komplikasi dari apendisitis akut. Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.
2. Etiologi dan patofisiologi appendisitis infiltrat diawali oleh adanya apendisitis akut. Dimulai dari acute focal apendicitis  acute suppurative apendicitis  gangrenous apendicitis (tahap pertama dari apendisitis yang mengalami komplikasi)  dapat terjadi 3 kemungkinan :
o perforated apendicitis, terjadi penyebaran kontaminasi didalam ruang atau rongga peritoneum akan menimbulkan peritonitis generalisata.
o terjadi apendisitis infiltrat jika pertahanan tubuh baik (massa lama kelamaan akan mengecil dan menghilang)
o apendisitis kronis, merupakan serangan ulang apendisitis yang telah sembuh.
3. Appendisitis infiltrat dapat didiagnosis dengan didasari anamnesis adanya riwayat apendisitis akut dengan tanda khasnya, pemeriksaan fisik dan penunjang yang mendukung. Diagnosis apendisitis infiltrat dapat dibingungkan dengan penyakit lain pada kuadran kanan abdomen dengan massa diantaranya tumor cekum, lymfoma maligna intra abdomen, apendisitis tuberkulosa, amuboma, penyakit crohn, dan juga kelainan ginekolog seperti KET, adneksitis ataupun kista ovarium terpuntir.
4. Terapi appendisitis infiltrat adalah operasi elektif appendiktomy jika massa dianggap tenang dengan sebelumnya diberikan terapi konservatif dengan kombinasi antibiotik dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob selama 6-8 minggu. Apabila massa mengecil pembedahan dapat dibatalkan tetapi apabila massa tetap dan nyeri perut pasien bertambah berarti sudah terjadi abses dan massa harus segera dibuka dan dilakukan drainase.
5. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu perforasi apendisitis yang dapat mengakibatkan peritonitis yang pada akhirnya akan terjadi kegagalan organ dan kematian. Komplikasi terjadi biasanya akibat keterlambatan diagnosa apendisitis akut.


DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic Publication.
3. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya.
4. Lugo,. V.H., 2004. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update. Vol.23 No.03 September 2004. http://home.coqui.net/titolugo/PSU23304.PDF#search=periappendiceal %20 mass
5. Anonim, 2006. Appendix Mass.GP Note Book http://www.gpnotebook.co.uh/cache/1738145813.htm
6. Anonim, 2006. Appendicitis. http://www.meddean.lun.edu/lumen/Meded/Radio/Nuc_med?Appendicitis/Natural.htm.
7. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
8. Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis Akut. Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-emir%20jehan.pdf.
9. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15. www.emedmag.com
10. Anonim, 2005. Appendix. PathologyOutlines. http://www.patholoyoutlines.com
11. Gray, H.(1826-1861). 1918. Anatomy of The Human Body.www.Bartleby.com
12. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services. National Institute of Health. NIH Publication No. 04–4547.June 2004 www.digestive.niddk.nih.gov
13. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta.
14. Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American Academy of Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas http://www.aafg.org
15. Hugh, A.F.Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
READ MORE - APPENDISITIS INFILTRAT