Pendahuluan¹ ² ³
Tifus abdominalis ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam 1 minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Sampai saat ini demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan, karena kesehatan lingkungan yang kurang memadai, penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat, tingkat sosial ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah. Walaupun pengobatan demam tifoid tidak terlalu menjadi masalah namun masalah diagnostik kadang-kadang menjadi masalah terutama ditempat yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan laboratoriumnya. Mengingat hal tersebut, maka pengenalan gejala-gejala klinis menjadi sangat penting untuk membantu diagnosis.
Etiologi¹ ² ³
Salmonella typhosa, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (somatic, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida) antigen H (flagella) dan antigen Vi. Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.
Epidemiologi¹ ³
Demam tifoid dijumpai kosmopolitan, terutama di negara berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi serta kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat.
Di Indonesia terdapat dalam keadaan endemi. Penderita anak yang ditemukan biasanya berumur diatas 1 tahun. Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta berumur diatas 5 tahun.
Patogenesis² ³
Kuman Salmonella masuk bersama makanan dan minuman (dibutuhkan 10⁵ - 10⁹ bakteri untuk dapat menimbulkan infeksi), sebagian bakteri mati oleh asam lambung, bakteri yang tetap hidup akan masuk ke dalam usus halus dan mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyeri) dan jaringan limfoid mesenterika.
Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat, kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ system retikuloendotelial terutama hati dan limfa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan yang tidak difagosit akan berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari, kuman kembali masuk ke organ tubuh terutama limfa dan kandung empedu, yang selanjutnya akan dikeluarkan kembali ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus.
Salmonella typhosa dan endotoxinnya merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hypothalamus, mengakibatkan timbulnya gejala demam.
Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyeri yang hiperplasi (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua) dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya jaringan parut. Sifat ulkus bulat lonjong sejajar sumbu panjang usus dan dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi.
Gejala klinis¹ ²
Gejala klinis pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, perasaan tidak enak, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1.Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2.Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
3.Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
Disamping gejala-gejala yang biasa ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil didalam kapiler kulit, nodul kecil sedikit menonjol diameter 2-4 mm. Biasanya ditemukan pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Diagnosis¹ ²
Menegakkan diagnosi pada anak merupakan hal yang tidak mudah, mengingat gejala dan tanda klinis yang tidak khas, terutama penderita di bawah 5 tahun. Dengan bertambahnya umur, akan lebih mudah menegakkan diagnosis karena gejala dan tanda yang hampir menyerupai dewasa.
Dari anamnesis dan pemeriksaan jasmani dapat dibuat diagnosis ‘Demam Tifoid’, dan untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan bakteriologis dan serologis.
1.Pemeriksaan untuk menyokong diagnosis
a.Pemeriksaan darah tepi
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana akan tetapi berguna untuk membantu diagnosis yang cepat.
b.Pemeriksaan sumsum tulang
Dapat dipergunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini termasuk pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan system eritropoiesis, granulopoiesis dan trombopoiesis berkurang.
2.Pemeriksaan untuk membuat diagnosis
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella typhosa dan pemeriksaan widal ialah pemeriksaan yang dapat dipakai untuk membuat diagnosis tifus abdominalis yang pasti. Kedua pemeriksaan tersebut dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya.
a.Biakan empedu
Basil salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses 2 kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman (carier).
b.Pemeriksaan Widal
Dasar pemeriksaan widal ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi.Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progressif digunakan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis, karena dapat tetap tinggi setelah dapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Tidak selalu pemeriksaan widal positif walaupun penderita sungguh-sungguh menderita tifus abdominalis sebagaimana terbukti pada autopsi setelah penderita meninggal dunia.
Sebaliknya titer dapat positif karena keadaan sebagai berikut :
1)Titer O dan H tinggi karenaterdapatnya agglutinin normal, karena infeksi basil Coli patogen dalam usus.
2)Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh oleh ibunya melalui tali pusat.
3)Terdapatnya infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix)
4)Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi subklinis.
Diagnosis Banding¹
Bila terdapat demam yang lebih dari 1 minggu sedangkan penyakit yang dapat menerangkan penyebab demam tersebut belum jelas, perlulah dipertimbangkan pula selain tifus abdominalis, penyakit-penyakit sebagai berikut: paratifoid A, B dan C, influenza, malaria, tuberculosis, dengue, pneumonia lobaris dan lain-lain.
Komplikasi¹
1.Pada usus halus
Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal yaitu :
a.Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan/syok.
b.Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c.Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defans muscular) dan nyeri pada tekanan.
2.Di luar usus halus
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.
Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akoibat masukan makanan kurang dan perspirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.
Pengobatan¹ ² ³
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis observasi tifus abdominalis harus dianggap dan diperlakukan langsung sebgai penderita tifus abdominalis dan diberikan pengobatan sebagai berikut :
A.Perawatan
Penderita perlu dirawat untuk isolasi, observasi dan pengobatan, isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas demam, tetapi tidak harus tirah baring sempurna seperti dimasa lampau. Mobilisasi dilakukan sewajarnya sesuai situasi dan kondisi penderita. Mengenai lamanya perawatan sampai saat ini sangat bervariasi dan tidak ada keseragaman, sangat tergantung kondisi penderita dan adanya komplikasi.
B.Diet
Beberapa peneliti menganjurkan makanan padat dini yang wajar dan sesuai keadaan penderita, dengan memperhatikan kualitas dan kuantitasnya. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan protein tinggi. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
C.Obat
Demam tifoid mengakibatkan angka kematian tinggi sebelum adanya antimikroba (10-15%), angka tersebut menurun drastis setelah ditemukannya antimikroba (1-4%). Obat pilihan ialah Kloramfenikol, kecuali bila penderita tidak serasi dapat diberikan obat lain misalnya tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisilin, dan amoksisilin. Dianjurkan pemberian kloramfenikol dengan dosis yang tinggi, yaitu 100 mg/kg/hari, diberikan 4 kali sehari peroral atau intramuskulus atau intravena bila diperlukan, dosis maksimal 2 gr/hari dan tidak boleh diberikan bila jumlah leukosit ≤ 2000/ul. Neonatus sebaiknya dihindari atau dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari. Pemberian kloramfenikol dosis tinggi tersebut memberikan manfaat yaitu waktu perawatan dipersingkat dan relaps tidak terjadi. Akan tetapi mungkin pembentukan zat anti kurang, oleh karena basil terlalu cepat dimusnahkan. Penderita yang dipulangkan perlu diberikan suntikan vaksi Tipa.
Kotrimoksazol efektifitasnya masih banyak kontroversial dan kelebihannya untuk kasus yang resisten kloramfenikol. Dosis oral 30-40 mg/kgBB/hari sulfametoksazol dan 6-8 mg/kgBB/hari trimetoprim (dalam 2 kali pemberian). Ampisilin dan amoksisilin terutama kasus resisten kloramfenikol , namun umumnya lebih lambat menurunkan demam. Dosis ampisilin 100-200 mg/kgBB/hari dan amoksisilin 100 mg/kgBB/hari.
Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya pemberian cairan intravena untuk penderita dengan dehidrasi dan asidosis. Bila terdapat bronkopneumonia harus ditambahkan penisilin dan lain-lain.
Kortikosteroid hanya dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan perdarahan usus dan relaps, pada kasus berat dapat menurunkan angka kematian secara bermakna.
Prognosis¹ ²
Tergantung umur, gizi, imunitas, cepat dan tepatnya pengobatan serta komplikasi yang ada. Umumnya prognosis pada anak baik asal penderita cepat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti :
1.Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinua.
2.Kesadaran menurun sekali yaitu sopor, koma atau delirium.
3.Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia dan lain-lain.
4.Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein).
DAFTAR PUSTAKA
1.Tifus Abdominalis. Dalam Buku Kuliah IKA Jilid 2, BAB 21 Infeksi. Oleh Staf Pengajar IKA FKUI, Editor Dr. Rusepno Hasan, Dr. Husein Alatas, dll. Jakarta, Infomedika, 1997; hal. 593-598
2.Demam tifoid. Dalam buku Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, BAB I Infeksi akteri. Oleh Dr. T. H Rampengan DSAK, Dr. LR Laurentz DSA. Jakarta, EGC, 1997; hal. 83-71
3.Tifus Abdominalis. Dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2, BAB VI IKA. Editor Arif Mansjoer, Suprohaita, dll. Jakarta, Media Aesculapius,2000; hal. 432-433
1 comments:
Nice blog you have thanks for posting
Post a Comment