PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) (dari kata Yunani διαβαίνειν, diabaínein, "tembus" atau "pancuran air", dan kata Latin mellitus, "rasa manis") yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula darah) yang terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Sumber lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron.[3]
Semua jenis diabetes mellitus memiliki gejala yang mirip dan komplikasi pada tingkat lanjut. Hiperglisemia sendiri dapat menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis. Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah buruk.
Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang oleh karena gangguan keseimbangan karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan kekurangan insulin secara absolut maupun relatif. Sehingga menyebabkan terjadinya hiperglikemia dan glukosuria. Pada keadaan normal glukosa diatur sedemikian rupa oleh insulin yang diproduksi oleh sel ß pancreas. Sehingga kadarnya dalam darah selalu keadaan normal. Baik keadaan puasa maupun sesudah makan, kadar gula darah selalu stabil sekitar 70 sampai 110 mg %. Pada keadaan diabetes mellitus tubuh relatif kekurangan sekresi insulin maupun aktivitas insulin akibatnya pengaturan gula darah menjadi kacau. Walaupun kadar gula darah selalu tinggi, terjadi juga pemecahan lemak dan protein menjadi gula (glukoneogenesis) di hati yang tidak dapat dihambat karena insulin sekresinya relatif berkurang sehingga gula darah semakin meningkat. Akibatnya terjadi gejala-gejala diabetes mellitus yaitu poliuri, polifagi, polidipsi, lemas, berat badan menurun. Bila dibiarkan berlarut-larut berakibat kegawatan diabetes mellitus dengan ketoasidosis yang sering menimbulkan kematian.
Kasus diabetes mellitus yang terbanyak adalah DM type II yang mempunyai latar belakang berupa resistensi insulin akibat disfungsi sel ß pancreas, dan penurunan mass sel ß pancreas dimana sekresi serta aktivitas insulin berkurang.
Pada DM type I mempunyai latar belakang kelainan berupa kurangnya insulin secara absolute akibat interaksi factor genetic dan environment (virus, toksin, infeksi). Terjadinya proses autoimun dan adanya antibody terhadap insulin yaitu HLA yang menyebabkan kehancuran sel ß pancreas.
Penyebab
Pembentukan diabetes yang penting adalah dikarenakan kurangnya produksi insulin (diabetes mellitus tipe 1, yang pertama dikenal), atau kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (diabetes mellitus tipe 2, bentuk yang lebih umum). Selain itu, terdapat jenis diabetes mellitus yang juga disebabkan oleh resistansi insulin yang terjadi pada wanita hamil. Tipe 1 membutuhkan penyuntikan insulin, sedangkan tipe 2 diatasi dengan pengobatan oral dan hanya membutuhkan insulin bila obatnya tidak efektif. Diabetes mellitus pada kehamilan umumnya sembuh dengan sendirinya setelah persalinan.
Pemahaman dan partisipasi pasien sangat penting karena tingkat glukosa darah berubah terus, karena kesuksesan menjaga gula darah dalam batasan normal dapat mencegah terjadinya komplikasi diabetes. Faktor lainnya yang dapat mengurangi komplikasi adalah: berhenti merokok, mengoptimalkan kadar kolesterol, menjaga berat tubuh yang stabil, mengontrol tekanan darah tinggi, dan melakukan olah raga teratur.
Tabel: Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl).[3]
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu:
Plasma vena <110 110 - 199 >200
Darah kapiler <90 90 - 199 >200
Kadar glukosa darah puasa:
Plasma vena <110 110 - 125 >126
Darah kapiler <90 90 - 109 >110
Jenis
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu tipe 1, tipe 2, dan diabetes gestasional (terjadi selama kehamilan)
Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 dulu disebut insulin-dependent diabetes (IDDM, "diabetes yang bergantung pada insulin"), atau diabetes anak-anak, dicirikan dengan hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes tipe ini dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe 1. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus) dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin melalui "inhaled powder".
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan mempengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan yang tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan. Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l). Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan angka yang lebih rendah. seperti "frequent hypoglycemic events". Angka di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi. Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke "ketoacidosis". Tingkat glukosa darah yang rendah, yang disebut hypoglycemia, dapat menyebabkan "seizures" atau seringnya kehilangan kesadaran.
Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 — dulu disebut non-insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM, "diabetes yang tidak bergantung pada insulin") — terjadi karena kombinasi dari "kecacatan dalam produksi insulin" dan "resistensi terhadap insulin" atau "berkurangnya sensitifitas terhadap insulin"(adanya defek respon jaringan terhadap insulin)yang melibatkan reseptor insulin di membran sel. Pada tahap awal abnormalitas yang paling utama adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Pada tahap ini, hiperglikemia dapat diatas dengan berbagai cara dan Obat Anti Diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulinpun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral (fat concentrated around the waist in relation to abdominal organs, not it seems, subcutaneous fat) diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, mungkin dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokines ( nya suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa. abdominal gemuk Adalah terutama aktip hormonally. Kegendutan ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan mendiagnose dengan jenis 2 kencing manis. Lain faktor boleh meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang ter]akhir [itu] telah terus meningkat mulai untuk mempengaruhi anak remaja dan anak-anak.
Diabetes tipe 2 boleh pergi tak ketahuan bertahun-tahun dalam suatu pasien [sebelum/di depan] hasil diagnosa [sebagai/ketika] gejala yang kelihatan adalah secara khas lembut atau yang tidak ada,, tanpa ketoacidotic, dan dapat sporadis.. Bagaimanapun, kesulitan yang menjengkelkan dapat diakibatkan oleh jenis tak ketahuan 2 kencing manis, termasuk kegagalan yang berkenaan dengan ginjal, penyakit yang vaskuler ( termasuk penyakit nadi/jalan utama serangan jantung), visi merusakkan, dan lain lain
Diabetes Tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (biasanya peningkatan), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memugar kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati,, sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di deposito abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, jika perlu,, perawatan dengan lisan [[ antidiabetic drugs. [Sebagai/Ketika/Sebab] produksi hormon insulin adalah pengobatan pada awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan untuk meningkatkan produksi hormon insulin ( e.g., sulfonylureas) dan mengatur pelepasan/release yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati ( dan menipis pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu ( e.g., metformin), dan pada hakekatnya menipis pembalasan hormon insulin ( e.g., thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal atau dekat tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali dan perlu ketika mengambil kebanyakan pengobatan.
Diabetes mellitus gestasional
Kencing manis mellitus gestasional ( gestational kencing manis mellitus, GDM) juga melibatkan suatu kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup, menirukan jenis 2 kencing manis di beberapa pengakuan. [Itu] kembang;kan selama kehamilan dan boleh meningkatkan atau menghilang lenyap setelah penyerahan. Sungguhpun mungkin saja penumpang sementara, gestational kencing manis boleh merusakkan kesehatan dari janin atau ibu, dan sekitar 20%–50% dari wanita-wanita dengan kencing manis gestational kembang;kan jenis 2 kencing manis kemudian (dalam) hidup.
Gestational kencing manis mellitus (GDM) terjadi di sekitar 2%–5% dari semua pregnancies. [Itu] adalah temporer dan secara penuh bisa perlakukan tetapi, tidak diperlakukan, boleh menyebabkan permasalahan dengan kehamilan, termasuk macrosomia ( kelahiran yang tinggi menimbang), bentuk cacad hal-hal janin dan penyakit jantung sejak lahir. [Itu] memerlukan pengawasan hati-hati yang medis sepanjang kehamilan.
Fetal/Neonatal resiko yang dihubungkan dengan GDM meliputi keganjilan sejak lahir seperti berhubungan dengan jantung, sistem nerves yang pusat, dan [sebagai/ketika/sebab] bentuk cacad otot. Yang ditingkatkan hormon insulin hal-hal janin boleh menghalangi sindrom kesusahan dan produksi surfactant penyebab hal-hal janin yang berhubung pernapasan. Hyperbilirubinemia boleh diakibatkan oleh pembinasaan sel darah yang merah. Di kasus yang menjengkelkan, perinatal kematian boleh terjadi, paling umum sebagai hasil kelimpahan placental yang lemah/miskin dalam kaitan dengan perusakan/pelemahan yang vaskuler. Induksi/Pelantikan mungkin ditandai dengan dikurangi placental fungsi. Bagian Cesarean mungkin dilakukan jika ditandai kesusahan hal-hal janin atau suatu ditingkatkan resiko dari luka-luka/kerugian dihubungkan dengan macrosomia, seperti bahu dystocia.
PATOFISIOLOGI
Diabetes mellitus dalam waktu yang lanjut akan menyebabkan komplikasi angiopathy dan neuropathy. Kedua hal ini merupakan penyebab dasar terjadinya gangrene.
ANGIOPATHY
Terjadinya angiopathy diabetic dipengaruhi oleh factor genetic, factor metabolic, dan factor penunjang lain seperti kebiasaan merokok, hipertensi, dan keseimbangan insulin.
Faktor genetik seperti tipe HLA tertentu pada penderita diabetes, walaupun dengan kadar gula darah rendah, sudah cukup untuk menimbulkan mikroangiopathy diabetic yang luas serta memacu timbulnya mikrotrombus yang akhirnya menyumbat pembuluh darah
Faktor metabolic yang berpengaruh adalah regulasi diabetes mellitus, dislipidemia, dan glikogenesis dari protein. Khusus untuk dislipidemia terdapat peningkatan factor aterogenik berupa kolesterol LDL. Komponen lemak ini memegang peran utama dalam patogenesis angiopathy diabetic.
Secara umum angiopathy dapat dibagi dalam dua jenis yaitu makroangiopathy dan mikroangiopathy.
Makroangiopathy
Makroangiopathy bukanlah hanya melibatkan pembuluh darah besar saja, tapi juga melibatkan pembuluh darah kecil.
Langkah pertama untuk terjadinya makroangiopathy adalah rusaknya endothelial cell oleh karena pengaruh lemak atau oleh karena pengaruh tekanan darah. Keadaan ini diikuti oleh melekatnya dan berkumpulnya sel-sel platelet. Kejadian ini berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan non diabetes.
Platelet ini mempunyai pengaruh stimulasi terhadap proliferasi otot polos. Sel otot dari tunika media akan berproliferasi kedalam tunika intima dan kedalam lumen dari pembuluh. Clot ataupun plaque yang terbentuk akan terdiri dari deposit-deposit lemak, platelets, dan sel otot
Prostaglandin juga memegang peranan penting dalam peristiwa terjadinya ischemia dan pembentukan thrombus. Prostaglandin G2 dibentuk dari asam arakidonat yang kemudian akan dikonversi menjadi tromboxane A2 dan Prostacyclin. Tromboxane A2 dibentuk diplatelets dan menyebabkan peningkatan platelets aggregation dan vasoconstrictor. Kerusakan endothelium akan menyebabkan terganggunya sintesis local prostacyclin. Kejadian ini menyebabkan meningkatnya deposit platelet yang diikuti pembentukan tromboxane A2 yang meningkat, dan lebih jauh akan meninggikan kemampuan platelets aggregation, vasocontrictive local dan akhirnya menyebabkan terjadinya iskemi.
Mikroangiopathy
Lesi yang terutama pada angiopathy dan merupakan tanda dari diabetic vascular disease adalah penebalan dari membrana basalis capiler. Penebalan ini semakin nyata bila perjalanan penyakit diabetes semakin lama, dan mungkin ada hubungan dengan tingkat control terhadap gula darah, walaupun pernyataan ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Sebagian besar pembuluh darah mengalami penebalan membrana basalis. Patologi yang pasti tentang terjadinya penebalan membrana basalis ini belum diketahui. Tetapi telah dapat ditunjukkan bahwa membrana basalis yang menebal ini permeabilitasnya meningkat terhadap cairan dan protein. Hal ini akan menghalangi masuknya leukosit lebih jauh ke dalam cairan interstitial dan akan menyebabkan menurunnya pertahanan terhadap infeksi bakteri.
Williamson menyatakan bahwa hanya satu mekanisme untuk terjadinya angiopathy, baik makroangiopathy ataupun mikroangiopathy, yaitu meningkatnya permeabilitas membrane dari pembuluh darah besar dan pembuluh darah kecil.
Forsham menyatakan bahwa akibat langsung dari hyperglycaemia yang berlama-lama akan mengakibatkan terjadinya penebalan pada membrana basalis pada otot-otot kapiler baik pada skeletal maupun pada coronary capiler.
MANIFESTASI KLINIK
Gangren diabetik akibat mikroangiopathy disebut juga gangren panas karena walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan, dan biasanya teraba pulsasi arteri di bagian distal. Biasanya terdapat ulkus diabetic pada telapak kaki.
Proses makroangiopathy menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedang secara akut emboli akan memberikan gejala klinik 5 P(bagan 1). Dan bila terjadi sumbatan khronik, akan timbul gambaran klinik menurut pola dari fontaine(bagan 2).
Menurut berat ringannya lesi, kelainan kaki diabetic dibagi dalam enam derajat menurut wagner. Pada derajat 0 kulit utuh, tetapi ada kelainan bentuk kaki akibat neuropati. Pada derajat 1 terdapat tukak superficial, derajat 2 tukak lebih dalam, dan derajat 3 tukak dalam disertai abses dengan kemungkinan selulitis dan/atau osteomielitis. Pada derajat 4 terjadi gangren jari dan derajat 5 gangren kaki.
Berdasarkan jenis gangrennya gejala-gejala ini dibedakan:
Pada gangrene kering akan dijumpai adanya gejala permulaan berupa:
Sakit pada daerah yang bersangkutan
Daerah menjadi pucat, kebiruan dan bercak ungu
Lama –kelamaan daerah tersebut berwarna hitam
Tidak teraba denyut nadi (tidak selalu)
Bila diraba terasa kering dan dingin
Pinggirnya berbatas tegas
Dan akhirnya perasaan nyeri/sakit lambat laun berkurang dan akhirnya menghilang. Gangren kering ini bisa lepas sendiri dari jaringan yang utuh.
Pada gangrene basah akan dijumpai tanda sebagai berikut:
Bengkak pada daerah lesi
Terjadi perubahan warna dari merah tua menjadi hijau yang akhirnya kehitaman
Dingin
Basah
Lunak
Ada jaringan nekrose yang berbau busuk, tapi bisa juga tanpa bau sama sekali.
Bagan 1: 5P
1. Pain = nyeri
2. Paleness = kepucatan
3. Paresthesia = kesemutan
4. Pulselessness = denyut nadi hilang
5. Paralisis = lumpuh
kadang ditambah P ke 6 yaitu prostration = kelesuan
Bagan 2: Stadium menurut fontaine
Stadium Tanda dan gejala
I
II
III
IV Asimptomatik atau gejala tidak khas (kesemutan)
Klaudikasio intermiten (shg jarak tempuh pendek)
Nyeri saat istirahat
Manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia (sekresi,ulkus)
Bagan 3: Derajat kelainan kaki diabetes (wagner)
Derajat Sifat
Luka/tukak abses selulitis osteomielitis gangrene
0
I
II
III
IV
V - - - - -
superficial - - - -
dalam sampai - - - -
tendon/tulang
dalam + +/- +/- -
dalam +/- +/- +/- jari
gangrene seluruh kaki
DIAGNOSA
Diagnosa gangren diabetik ditegakkan dengan cara :
Anamnesis/gejala klinik
Pemeriksaan physis diagnostic
Pemeriksaan laboratorium
DIAGNOSA BANDING
Diagnosa banding dari suatu gangrene diabetic adalah gangrene yang disebabkan oleh arteriosclerosis obliterans pada penderita non diabetes.
Pada gangrene non-diabetes dijumpai tanda sebagai berikut:
Cludicatio intermittent, yaitu rasa sakit yang timbul, biasanya pada telapak kaki setelah berjalan beberapa saat dan segera hilang bila istirahat.
Hilangnya denyut nadi
Kaki terasa dingin
Bila aliran darah tersumbat total, tidak menyebabkan tulang-tulang segera menjadi buruk
Pada gangren diabetik, bila aliran darah tersumbat total maka tulang akan mengalami osteomyelitis, selain itu pada gangrene diabetic, claudicatio intermittent juga timbul pada waktu istirahat, baik siang atau malam hari, disertai perasaan terbakar, kebas dan dingin.
Salah satu diagnosa banding dari ulkus diabetik adalah ulkus tropikum, sebab ulkus ini biasanya terdapat pada daerah yang terbuka terutama daerah tungkai yang bentuknya bulat, bergaung, kotor dan dikelilingi tanda radang. Biasanya tukak ini disertai demam dan limfadenitis.Tukak ini biasanya sembuh sepontan tanpa nyeri lagi dengan menyisakan ulkus yang indolen.
Gejala
Tiga serangkai yang klasik tentang gejala kencing manis adalah polyuria ( urination yang sering), polydipsia ( dahaga ditingkatkan dan masukan cairan sebagai akibat yang ditingkatkan) dan polyphagia ( selera yang ditingkatkan). Gejala ini boleh kembang;kan sungguh puasa diset dicetak 1, terutama sekali di anak-anak ( bulan atau minggu) tetapi mungkin sulit dipisahkan atau dengan sepenuhnya absen & & mdash; seperti halnya mengembang;kan jauh lebih pelan-pelan & mdash; diset dicetak 2. Diset dicetak 1 [di/ke] sana boleh juga jadilah kerugian berat/beban ( di samping normal atau yang ditingkatkan makan) dan kelelahan yang tidak dapat diperkecil lagi. Gejala ini boleh juga menjelma diset dicetak 2 kencing manis di pasien kencing manis siapa adalah dengan kurang baik dikendalikan. Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri).
Akibat poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi).
Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi).
Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi.
Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat badan.
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam.
Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakann atau penyakit yang serius.
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala semala beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.
Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri).
Akibat poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi).
Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi).
Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi.
Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat badan.
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam.
Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakann atau penyakit yang serius.
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala semala beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.
KOMPLIKASI KRONIK DIABETES MELITUS TIPE II
Diabetes melitus jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, jantung, ginjal, pembuluh darah kaki dan saraf. Penanganan yang baik diharapkan komplikasinya akan dicegah atau ditunda.
Komplikasi DM
Ada 2 teori utama dalam terjadinya komplikasi kronik DM yang masing – masing mempunyai data pendukung yang kuat :
1. Hipotesis genetik
Timbulnya kelainan pembuluh darah pada pasien DM tidak berhubungan dengan abnormalitas metabolik pasien, tetapi memang sedikit atau banyak sudah ditentukan oleh faktor genetik. Siapa – siapa yang cenderung timbul komplikasi vaskuler dan siapa yang tidak. Kelompok ini ditunjang dengan penelitian siperstein dan kawan – kawan. Yang mendapatkan adanya kelainan pada membran basal otot pasien (90 % pasien) dan (53 %) pada orang normal yang kedua orang tuanya mengindap DM. Pada kelompok DM juga tidak didapatkan perbedaan kelainan membran basal tersebut pada berbagai sub kelompok dengan lama mengidap DM yang berbeda ataupun pada sub kelompok yang diobati dengan diet saja, dengan yang perlu insulin.
2. Hipotesis Metabolik
Terjadinya komplikasi DM adalah sebagai akibat kelainan metabolik yang ditemui pada pasien DM. Atas dasar hipotesis ini, West lebih setuju pada kelainan vaskuler sebagai manifestasi patologis daripada sebagai komplikasi DM karena eratnya hubungan dengan hiperglikemia. Sedangkan untuk mudahnya timbul infeksi misalnya TBC, dia pisahkan sebagai komplikasi DM.
Untuk menunjang hipotesis ini tentu saja harus ada bukti bahwa dengan mengontrol hiperglikemia kita dapat mencegah timbulnya komplikasi kronik DM, menghambat perkembangan komplikasi yang sudah terjadi, bahkan kalau dapat memperbaiki komplikasi yang sudah timbul tersebut.
Hasil penelitian DCCT menunjukkan manfaat yang besar jika kita memberikan pengobatan intensif pada pasien dan dapat mempertahankan kadar glukosa darah senormal mungkin.
Teori Sorbitol
Hiperglikemia akan menyebabkan penumbukan glukosa pada sel dan jaringan tertentu yang dapat mentransfer glukosa tanpa memerlukan insulin. Glukosa berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara normal melalui glikosis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan diubah menjadi sorbitol. Sorbitol akan tertumbuk dalam sel atau jaringan tersebut dan akan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi.
Hipotesis ini dapat menerapkan timbulnya kelainan pada berbagai organ terutama lensa mata dan saraf, tetapi belum dapat menerangkan terjadinya perburukan pada retina saat kadar glukosa darah pasien sudah membaik.
Teori Glikosilasi
Akibat hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada semua protein, terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadi proses glikosilasi pada protein membran basal dapat menjelaskan semua kejadian komplikasi DM baik makro maupun mikrovaskuler, termasuk keadaan hiperglikemik memori yang tidak dapat dijelaskan dengan teori sorbitol di atas. Teori ini merupakan teori yang sedang banyak dikembangkan pada saat ini. Jika kemudian dapat ditemukan suatu senyawa yang menghambat proses glikosilasi ini diharapkan proses komplikasi kronik DM dapat dihindari atau dicegah.
Mengenal komplikasi kronik DM
Mengingat bahwa kalau sudah timbul akan sulit untuk memperbaiki kembali, diagnosis dini kronik sangat diperlukan. Pada semua pasien DM akan diperiksa dan dicari adanya komplikasi kronik ini secara berkala. Dengan bukti dari DCCT bahwa perbaikan komplikasi DM mungkin tercapai usaha untuk mencoba menurunkan kadar glukosa pasien sampai tingkat yang menguntungkan untuk mencegah dan memperbaiki komplikasi. Usaha untuk menormalkan glukosa darah menjadi dasar untuk mengelola semua komplikasi kronik DM. Untuk komplikasi tertentu diperlukan tindakan dan pengelolaan khusus untuk komunikasi yang bersangkutan.
PJK (Penyakit Jantung Koroner) :
- Pengelolaan gagal jantung dan infark
- Pengelolaan penyempitan koroner
- Konservatif atau medikamentosa
- Invasif dan bedah pintas koroner
- Angioplasti
PVD :
- Pengelolaan rutin konservatif dengan medikamentosa, debridemen dan mengatasi infeksi.
Retina :
- Fotokoagulasi, vitrektomi, vitrektomi dengan endolaser
Gagal ginjal :
- Pengelolaan konservatif dengan diet dan obat
- Pengelolaan dengan gagal jantung
- Dialisis – hemodialisis
- Peritonal dialisis
- Transplantasi ginjal
ANGIOPATI DIABETIK
Baik IDDM maupun NIDDM, kurang lebih 80%mortalitasnya disebabkan oleh Arterosklerosis.
KLASIFIKASI DAN PENGERTIAN DASAR MAKRO DAN MIKROANGIOPATI DIABETIK
A. Mikroangiopati-Diabetik (Mi-DM)
Yaitu angiopati yang terdapat pada kapiler dan arteriol. Proses adhesi, dan agregasi merupakan awal terbentuknya mikrotrombus. Disfungsi endotel dan trombosis menjadi penyebab.
B. Makroangiopati Diabetik
Merupakan penebalan dan hilangnya elastisitas dinding arteri (Arterosklerotik Diabetik)
DIABETES TYPE 2 TERHADAP RESIKO PENYAKIT KARDIOVASKULER
Angka kematian dari penyakit kardiovaskuler meningkat oleh 2 sampai 3 fantor pada orang dengan diabetes dibanding dengan penduduk secara keseluruhan. Penyakit kardiovaskuler dapat berkembang lebih awal pada orang menderita diabetes dan lebih sering muncul pada wanita dibandingkan pria penderita diabetes. Untuk mengurangi meningkatnya resiko ini sudah dianjurkan pengaturan diabetes type 2 yang dilakukan dengan pendekatan dari berbagai faktor. Lembaga Diabetes Amerika, sebagai contoh menyarankan untuk tidak hanya memperhatikan pengontrolan kadar gula yang baik saja tetapi juga harus dapat mengenal dan mengetahui pengobatan yang tepat pada orang dengan kumpulan faktor resiko jantung. Pada penderita yang mengalami peningkatan lemak dan tekanan darah, pengawasan harus dilakukan lebih ketat dibandingkan yang disarankan untuk penderita secara keseluruhan (Tabel I). Sebagai sebuah strategi yang dipertimbangkan sebagai upaya dari dokter dan pasien. dan oleh karena itu bukti yang kuat dari tiap keuntungan merupakan hal yang penting. Data yang ada saat ini belum cukup dapat memperlihatkan efek dengan pendekatan dari berbagai faktor tersebut.
Tabel I. Sasaran Nilai Pada Pasien Dengan Diabetes Yang Mempunyai
Faktor Resiko
Tekanan darah di bawah 130/80 mmHg
Low Density Lipoprotein Cholesterol di bawah 100 mg/dl
Triglycerides di bawah 150 mg/dl (1,7 mmol/liter)
High Density Lipoprotein Cholesterol di atas 40 mg/dl (1,1 mmol/liter)
Glycosylated Hemoglobin di bawah 7 %
Gaede and Colleagues jelas menunjukkan bahwa strategi berbagai faktor dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler pada pasien diabetes type 2. Pasien dengan pengobatan intersive diobati dengan cara pengaturan pola hidup dan penggunaan obat-obatan guna mengatur nilai glycosylated hemoglobin di bawah 65 %, tekanan darah di bawah 130 / 80 mm hg, cholesterol di bawah 175 mg / dl dan triglyceride di bawah 150 mg / dl. Gaya hidup yang disarankan termasuk mengurangi konsumsi lemak, olah raga secara teratur dan berhenti merokok.
Pendekatan dengan berbagai faktor secara subsantial dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler bukan merupakan hal yang mengagetkan. Penelitian lebih lanjut menunjukkan keuntungan dari beberapa komponen dari pendekatan ini. Sebagai contoh, analisa subgrup dari pasien diabetes pada sebagian besar uji klinik menunjukkan terjadi pengurangan angka penyakit kardiovaskuler sampai 25 % dengan terapi yang teratur, 15 % dengan pengobatan aspirin, 50 % dengan penurunan tekanan darah ( tekanan diastolik < 80 mm Hg ). Terdapat pembuktian yang kuat pada pengobatan agresive dapat menurunkan lemak dan tekanan darah pada pasien diabetes dengan faktor resiko seperti ini dan untuk penggunaan aspirin pada orang dengan penyakit kardiovaskuler .
Gaede and colleagues tidak secara spesifik menjelaskan tentang efek dari ACE inhibitor pada orang dengan resiko penyakit kardiovaskuler, sejak obat ini secara umum diresepkan secara rutin untuk pasien dalam kedua grup tersebut. Pada evaluasi penelitian terbaru tentang pencegahan penyakit kardiovaskuler, pengobatan dengan ACE inbibitor dapat mengurangi insiden penyakit kardiovaskuler pada satu diantara empat pasien dengan diabetes yang mempunyai lebih dari satu faktor resiko penyakit kardiovaskuler, tanpa menghiraukan apakah mereka mempunyai microalbuminuria atau tidak. Data ini menyarankan pengobatan menggunakan ACE inhibitor harus berhati – hati pada pasien dengan resiko tinggi yang menderita diabetes, meskipun tidak mempunyai hipertensi dan microalbuminuria.
Hal ini masih diertanyakan apakah pengontrolan glukosa pada isolasi dapat mengurangi resiko insiden penyakit kardiovaskuler. Di pusat penelitian Inggris yang mempelajari tentang perkembangan diabetes, pengontrolan kadar glukosa secara intensive dengan insulin atau obat Sulfonylurea menghasilkan penurunan yang tidak signifikan pada orang dengan resiko infrak myocard dan tidak mengurangi resiko stroke, bila dibandingkan dengan pengobatan biasa. Pada penelitian kedua menyarankan bahwa metformin, ketika digunakan sebagai penurun kadar glukosa, mengurangi resiko infrak myokard sampai 1/3, tetapi bagaimapun tidak ada keuntungan yang terlihat ketika metformin dikombinasi dengan sulfonylurea. Kesimpulan yang masuk akal adalah bahwa pengtargetan yang dihubungkan dengan faktor resiko adalah lebih bagus untuk perlindungan jantung dari pada pengontrolan kadar glukosa. Tidak juga pengontrolan glukosa yang baik dapat mengurangi faktor resiko dari retinopathy dan neuropathy.
Terdapat bukti yang kuat bahwa perbaikan gaya hidup, berhenti merokok, mempunyai keuntungan pada kardiovaskuler. Resiko insiden penyakit kardiovaskuler meningkat minimal 2 kali pada pasien yang menderita diabetes yang merokok dan akan menurun setelah berhenti merokok. Olah raga yang teratur juga harus dilakukan. Data penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara aktivitas fisik yang teratur dengan angka kejadian penyakit kardiovaskuler pada orang dengan diabetes.
Diet adalah hal yang tidak kalah penting, tetapi diet terbaik untuk mengurangi resiko penyakit jantung tetap masih belum pasti. Pada kelompok pengobatan intensive pada penelitian gaede and colleagne menganjurkan untuk mengikuti diet rendah lemak pada jumlah total maupun kandungannya. Bagaimanpun terdapat bukti yang menunjukkan terdapat banyak keuntungan dari mengganti makanan yang mengandung lemak dengan makanan tidak mengandung lemak dan membuat perubahan pola diet. Keuntungan pada kardiovaskuler dengan memakai secara rutin vitamin atau mineral tambahan tidak terlalu mendasar, baru – baru ini penelitian klinik menunjukkan tidak ada penurunan yang signifikan pada angka kejadian jantung coroner yang dihubungkan dengan penggunaan vitamain E atau kombinasi vitamin E dan C dan β karotin.
GAMBAR 1 : PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI DM TYPE I
Genetik Interaksi Environment
Histocompatibilitas - virus
- Toxin
- Infeksi
1.Anak Autoimunity
2.Orang kurus Immune mediated
3.+/- < 40 thn
Idiopatik Cell ß destruksi
Insulinopenia absolute
IDDM dapat terjadi ketoasidosis
GAMBAR 2 : INSULIN RESISTENSI PADA DM TYPE II
ß cell disfungsi
ß cell mass
Insulin sekresi
Hiperglikemia
Insulin resistensi
(hati,lemak,otot)
Pasien DM mempunyai resiko untuk terjadinya komplikasi khronik yaitu : Penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, 50 kali lebih mudah menderita ulkus/gangrene, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal dan 25 kali lebih cenderung mengalami kebutaan akibat kerusakan retina daripada pasien non DM.
GANGRENE DIABETIK
Gangrene diabetic adalah gangrene yang dijumpai pada penderita DM. Sedangkan gangrene sendiri adalah kematian jaringan oleh karena obstruksi pembuluh darah yang memberikan makanan kepada jaringan tersebut. Gangrene merupakan komplikasi dari penyakit DM.
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit metabolisme memerlukan perawatan seumur hidup. Perawatan terhadap penderita memerlukan kerja sama antara dokter dan penderita.
Gangrene diabetic ini dapat terjadi pada setiap bagian tubuh yang terendah diujung terutama pada ekstremitas bawah.
PRINSIP PENGOBATAN DIABETES MELITUS TIPE 2.
Pengobatan dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nutrisi medik masih merupakan ”pengobatan utama”, tetapi bilamana hal ini bersama latihan jasmani/kegiatan fisik gagal, maka diperlukan penambahan obat oral atau insulin. Pengaruh hubungan jumlah reseptor insulin dengan DM tipe 2 gemuk masih terdapat perbedaan pendapat. tetapi disetujui bahwa penurunan berat badan dan kegiatan jasmani akan mempunyai dampak terapetik. Sayangnya banyak orang dengan diabetes sukar untuk menurunkan berat badannya karena kurang motivasi atau disiplin untuk mengikuti program yang ketat yang diberikan oleh dokter. sehingga terlalu sering seorang dokter harus memberikan pengobatan farmakologik untuk mengobati hiperglikemia pada keadaan seperti ini.
Karena penyebab resistensi pada DM tipe 2 dalam praktek sehari-hari sukar dinilai, maka terpaksa dilakukan secara empiris. yaitu bila seseorang tidak dapat diobati dengan satu suntikan perhari maka ditambahkan suntikan kedua pada sore hari dan seterusnya. Pada pasien dengan alergi terhadap insulin dianjurkan untuk memakai insulin yang lebih murni atau Human Insulin.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan dari gangrene kering :
Istirahat ditempat tidur
Kontrol kadar gula darah dengan diet, insulin, atau obat anti diabetic
Tindakan amputasi untuk mencegah meluasnya gangrene, tetapi harus dengan indikasi yang sangat jelas.
Perbaiki sirkulasi guna mengatasi/mencegah angiopati dengan pemberian obat-obatan anti platelet agregasi seperti aspirin, dipyridamol atau pentoxyvillin
Pengobatan terhadap gangrene basah :
Istirahat ditempat tidur
Kontrol kadar gula dengan diet, insulin atau oral anti diabetic.
Debridement
Kompres/rendam dengan iar hangat, jangan dengan air panas atau dingin.
Beri topical antibiotic
Beri sistemik antibiotic yang sesuai kultur atau dengan antibiotaik spectrum luas.
Untuk neuropati berikan pyridoxine (vit.B6) atau neurotropik lain
Untuk mencegah angiopati dapat diberi obat antiplatelet aggregasi seperti aspirin,dipiridamol atau pentoxyvillin.
Tindakan pembedahan
Tindakan pembedahan ini bisa berupa :
Amputasi segera
Debridement dan drainage, setelah tenang maka tindakan yang diambil mungkin:
- Amputasi selektif
- Skin/arterial graft
Indikasi Amputasi :
Febris terus menerus
Regulasi diabetes mellitus sulit dicapai(kadar gula darah > 300 mg%)
Osteomyelitis pada gambaran radiology
Selulitis cenderung keatas
Infeksi pada gangrene yang menyebabkan keadaan umum semakin memburuk
Faal ginjal semakin menurun.
DIET PADA DIABETES MELLITUS
Kebutuhan kalori sesuai untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.
Komposisi energi :
- 60 – 70 % dari karbohidrat
- 10 – 15 % dari protein
- 20 – 25 % dari lemak
Beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pasien diabetes mellitus
1. Memperhitungkan berdasarkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25 – 30 kalori/kgBB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, kehamilan/laktasi, adanya komplikasi dan berat badan.
Dewasa Kalori/kgBB Ideal
Kerja santai Sedang Berat
Gemuk
Normal
Kurus 25
30
35 30
35
40 35
40
40 – 50
2. Dengan pegangan kasar yaitu :
- Kurus : 2300 – 2500 kalori
- Normal : 1700 – 2100 kalori
- Gemuk : 1300 – 1500 kalori
Menghitung kebutuhan kalori
Perhitungan menurut Brocca :
BBI = 90 % x (TB dalam cm – 100) x 1 kg
Untuk laki – laki TB < 160 cm atau wanita TB < 150 cm, rumusnya :
BBI = (TB dalam cm – 100) x 1 kg
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Idaman dikalikan kebutuhan kalori basal (30 kal/kgBB untuk laki – laki dan 25 kal/kg BB untuk wanita), tetapi ditambah kalori berdasarkan presentasi kalori basal.
- Kerja ringan, ditambah 10 % dari kalori basal
- Kerja sedang, ditambah 20 % dari kalori basal
- Kerja berat, ditambah 40 – 100 % dari kalori basal
- Pasien kurus, masih tumbuh – kembang, terdapat infeksi, sedang hamil atau menyusui, ditambah 20 – 30 % dari kalori basal.
Faktor – faktor yang menentukan kebutuhan kalori :
1. Jenis kelamin
2. Umur
3. Aktivitas fisik dan pekerjaan
4. Kehamilan infeksi
5. Adanya komplikasi
6. Berat badan
OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL/ OBAT ANTI HIPERGLIKEMIA
Dalam praktek telah dikenal 2 jenis obat anti diabetik :
1. Obat hipoglikemik oral (OHD)
2. Insulin
Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral (OHD) dibagi menjadi 3 golongan:
I.Pemicu sekresi insulin (Insulin secretagogues),
II.Penambah sensitivitas Insulin (insulin sensitizer),
III.Penghambat -glucosidase/ Acarbose (Regulator postpradial glucose)
I. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogues)
A. SULFONILUREA:
Cara kerja obat golongan ini masih merupakan ajang perbedaan pendapat, tetapi pada umumnya dikatakan sebagai:
a. Cara kerja utama adalah meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas.
b. Meningkatkan performance dan jumlah reseptor insulin pada otot dan sel lemak.
c. Meningkatkan efisiensi sekresi insulin dan potensiasi stimuli insulin transport karbohidrat ke sel otot dan jaringan lemak.
d. Penurunan produksi glukosa oleh hati.
e. Cara kerja pada umunya melalui suatu alur kalsium yang sensitif terhadap ATP.
f. Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan
g. Menurunkan ambang sekresi insulin
h. Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukagon
Obat golongan ini merupakan pilihan untuk pasien diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang, serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penyakit hati, ginjal dan tiroid.
Termasuk obat golongan ini antara lain:
• Khlorpropamid.( Diabenese 100mg, 250 mg)
Seluruhnya diekskresi melalui GINJAL, sehingga tidak dipakai pada gangguan faal ginjal dan oleh karena lama kerjanya lebih dari 24 jam, diberikan sebagai DOSIS TUNGGAL, TIDAK dianjurkan untuk pasien geriartri.
• Glibenklamid .(Daonil 5 mg)
Mempunyai efek hipoglikemik yang POTEN, sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang ketat. Dikatakan mempunyai efek terhadap agregasi trombosit. Dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan pada beberapa kelainan fungsi hati dan ginjal.
• Glikasid (Diamicron).
Mempunyai efek hipoglikemik yang sedang sehingga tidak begitu sering menyebabkan hipoglikemia. mempunyai efek anti agregasi trombosit yang lebih poten. dapat diberikan pada gangguan fungsi hati dan ginjal ringan .
• Glikuidon (Glurenorm).
Mempunyai efek hipoglikemik yang SEDANG dan juga JARANG menyebabkan hipoglikemia. Karena hampir seutuhnya di ekskresi melalui empedu dan usus, dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal yang lebih berat.
• Glipisid (Glucotrol XL)
Mempunyai efek yang lebih lama dari glibenklamid tetapi lebih pendek dari khlorpropamid dan mempunyai efek menekan produksi glukosa hati dan meningkatkan jumlah reseptor.
• Glimepirid (Amaryl, Amadiab).
Mempunyai waktu mula yang pendek dan waktu kerja yang lama, dengan cara pemberian dosis tunggal. Efek farmakologdinamiknya adalah mensekresi sedikit insulin dan kemungkinan adanya aksi dari ekstra pancreas. Untuk pasien yang ber-risiko tinggi yaitu :usia lanjut, gangguan ginjal atau yang melakukan aktivitas berat DAPAT diberikan obat ini. Dibandingkan dengan glibenklamid, glimepirid lebih jarang menimbulkan efek hipoglikemik pada awal pengobatan.
B. GLINID :
Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu:
• Repaglinid( Novonorm).
Merupakan derivat asam benzoat. Mempunyai efek hipoglikemik ringan sampai sedang. Diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat ini adalah keluhan gastrointestinal.
• Nateglinid (Starlix).
Cara kerja hampir sama dengan repaglinide, namun nateglinide merupakan derivat dari fenilalanin. Diabsorpsi cepat setelah pemberian oral dan ekskresi terutama melalui urine. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat ini adalah keluhan infeksi saluran pernafasan atas.
II. Penambah Sensitivitas terhadap Insulin.
A. BIGUANID.
Biguanid TIDAK merangsang sekresi insulin dan menurunkan kadar glukosa darah sampai normal (euglikemia) serta tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Contoh obat golongan ini adalah METFORMIN.
• Metformin menurunkan glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa kedalam sel otot yang dirangsang oleh insulin. Obat ini dapat memperbaiki ambilan glukosa sebesar 10-40%,
• Metformin menurunkan produksi glukosa hati dengan mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis.
• metformin juga dapat menurunkan kadar trigliserida hingga 16%, LDL kolesterol hingga 8% dan total kolesterol hingga 5%, dan juga dapat menongkatkan HDL kolesterol hingga 2%.
• Metformin, berbeda dengan golongan sulfonilurea karena tidak meningkatkan sekresi insulin, jadi tidak dapat menyebabkan hipoglikemik, tidak menaikkan berat badan dan malah kadang-kadang dapat menurunkan berat badan.
• Metformin menurunkan kadar glukosa puasa sebanyak 60mg/dl dan glikoHb, 1,8%. Jadi hampir sama efektif seperti sulfonilurea.
• Metformin ,meningkatkan jumlah reseptor insulin.
Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah-muntah, kadang-kadang diare, oleh karena itu lebih baik diberikan kepada pasien yang gemuk, sebab tidak merangsang sekresi, yang seperti diketahui mempunyai efek anabolik. Sebenarnya obat ini baik sekali bila diingat sifatnya yang hanya merupakan euglycemic agent, jadi tidak terdapat bahaya terjadinya hipglikemia. tetapi sayang sekali obat golongan ini dapat menyebabkan asidosis laktat, terutama dengan preparat fenformin dan Buformin, sehingga kedua preparat ini tidak dipasarkan lagi.
Metformin, masih banyak dipakai dibeberapa negara termasuk Indonesia, karena frekwensi terjadinya asidosis laktat jauh lebih sedikit asal dosis tidak melebihi 1700 mg/hari dan tidak ada kegagalan ginjal dan penyakit hati.
B. THIAZOLIDINDION / GLITAZON.
Thiazolindindion berikatan pada peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR ) suatu reseptor initi di sel otot dan sel lemak.
Contoh golongan ini adalah :
• Pioglitazon.(Actos).
Mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah pen-transport glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat ini di metabolisme di hepar. obat ini di-kontraindikasikan pada pasien-pasien dengan gagal jantung karena dapat memperberat edema dan juga pada gangguan faal hati. saat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal .
• Rosiglitazon (Avandia).
Cara kerja hampir sama dengan pioglitazon, diekskresi melalui urin dan feces. mempunyai efek hipoglikemik yang cukup baik jika dikombinasikan dengan metformin. Pada saat ini belum beredar di Indonesia.
III. Penghambat Alfa Glukosidase / Acarbose:
Acarbose merupakan suatu penghambat enzim alfa glukosidase yang terletak pada dinding usus. Enszim alfa glukosidase adalah maltaseeeee. isomaltase, glukomaltase dan sukrose, berfungsi untuk hidrolisis oligosakarida, trisakarida dan disakarida pada dinding usus halus (brush borders). Inhibisi sistem enzim ini secara efektif dapat mengurangi digesti karbohidrat kompleks dan absorpsinya, sehingga pada pasien diabetes dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial.
Acarbose juga menghambat alfa-amilase pancreas yang berfungsi melakukan hidrolisa tepung-tepung kompleks didalam lumen usus halus.
Obat ini merupakan obat oral yang biasanya diberikan dengan dosis 150-600 mg/hari. Obat ini efektif bagi pasien dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar [plasma glukosa puasa kurang dari 180 mg/dl. Efek samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang diare, yang akan berkurang setelah pengobatan lebih lama. Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Bila diminum bersama-sama obat golongan sulfonilurea (atau insulin) dapat terjadi hipoglikemia yang hanya dapat diatasi dengan glukosa murni jadi tidak dapat diatasi dengan pemberian gula pasir. Obat ini diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara bertahap, serta dianjurkan untuk memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan (Jadi BUKAN sesudah makan.
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM MEMILIH OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL :
1. Dosis delalu harus dimulai dengan dosis RENDAH yang kemudian dinaikkan secara
bertahap.
2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat
tersebut. (Misalnya Klorpropamid , jangan diberikan 3 kali I tablet, lama lama kerjanya
24 jam).
3. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan
obat oral golongan lain, bila gagal, baru beralih kepada insulin.
5. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh orang dengan diabetes.
INDIKASI PEMAKAIAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL:
1. Diabetes sesudah umur 40 tahun
2. Diabetes kurang dari 5 tahun
3. Memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unti sehari
4. DM tipe 2, berat normal atau lebih.
INSULIN
Indikasi pengobatan dengan insulin
a. Ketoasidosis, koma hiperosmolar dan asidosis laktat
b. DM dengan berat badan menurun secara cepat/kurus
c. DM yang mengalami stress berat ( infeksi sistemik, operasi berat, dll)
d. DM dengan kehamilan
e. DM tipe 1
f. Kegagalan pemakaian hipoglikemik oral (OHD)
KRITERIA PENGENDALIAN DM:
Baik Sedang Buruk
-Glukosa darah puasa(mg/dL) 80 – 109 110 – 125 ≥ 126
-Glukosa darah 2 jam (mg/dL) 110 – 144 145 – 179 ≥ 180
-A1C (%) < 6,5 6,5 – 8 > 8
-Kolesterol total (mg/dL) > 200 200 – 239 ≥ 240
-Koleterol LDL (mg/dL) < 100 100 – 129 ≥130
-Kolesterol HDL (mg/dL) > 45
-Trigliserida (mg/dL) < 150 150 – 199 ≥ 200
-IMT Kg/m2) 18,5 – 22,9 23 – 25 > 25
-Tekanan darah (mmHg) <130/80 130–140/80-90 >140/90
(Konsensus Pengelolaan DM tipe 2 di Indonesia 2002)
Untuk pasien berumur > 60 tahun, sasaran kadar glukosa darah lebih tinggi daripada biasa (puasa < 150 mg/dL dan sesudah makan < 200 mg/dL), demikian pula kadar luipid , tekanan darah,dll mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang.
Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat.
OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN GERIATRI:
Hipoglikemia harus dihindari pada orang dengan diabetes usia lanjut, oleh karena itu sebaiknya obat-obat yang bekerja jangka panjang tidak dipakai dan diberikan obat-obat yang mempunyai masa paruh yang pendek tetapi bekerja cukup lama.
TERAPI KOMBINASI SULFONILUREA DAN BIGUANID
Pada saat-saat tertentu diperlukan terapi kombinasi/pemakaian bersama antara obat-obat golongan sulfonilurea dan biguanid. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pancreas yang memberikan kesempatan untuk biguanid untuk bekerja efektif. Kedua-duanya rupanya memberi efek terhadap sensitivitas reseptor; jadi pemakaian kedua obat tersebut saling menunjang. kombinasi kedua obat ini dapat efektif pada banyak penyandang DM yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri -sendiri.
OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL DAN INSULIN:
Kombinasi obat hipoglikemik oral (OHO) dan Insulin dapat dimulai jika dengan OHO dosis hampir maksimal, baik sendiri-sendiri ataupun secara kombinasi namun kadar glukosa darah belum tercapai. Pada keadaan ini dipikirkan adanya kegagalan pemakaian OHO. Untuk kombinasi ini, insulin ”kerja sedang” dapat diberikan pada pagi atau malam hari.
KONTRAINDIKASI:
Obat pemicu sekresi insulin(insulin secretagogues) tidak dapat diberikan pada DM tipe 1. Adanya kelainan kelainan parenkim pada hati dan ginjal, kehailan dan laktasi dan masa terdapat stres berat memerlukan pertimbangan khusus sebelum memakai pemici sekresi insulin(insulin secretagogues).
DAFTAR PUSTAKA
1. H. Azhari H, Sp.PD Makalah Diabetes Melitus, Cirebon, RS.Gunung Jati, 2002,1-78
2. John H. Karam, MD, Peter H. Forsham, MD Hormon-Hormon Pankreas & Diabetes Mellitus. Editor. Endokrinologi dasar & klinik bab XV, Edisi IV, Jakarta, EGC: 1998, p 781-808
3. Kartono Karjadi, Soemirat, Sumadi : Gangren Diabetik, Kumpulan Naskah Lengkap Simposium Diabetes Mellitus 22 November 1974 s/d 31 januari 1975, P.T Kalbe Farma, Jakarta, 88-91, 1975
4. Kasper, et all. 2005. HARRISON’S Principles of Internal Medicine. New York. Mc Graw Hill.
5. Komarov, F.L., Oebinskaja, L.L, Seserova, T.M : Pentoxifyllin in treatment of peripheral vascular disease, Pharmacotherapeutica, vol 2, suppl I, 82-9, 1982
6. Lebovits H. E., Banerji, M.A., Chikenrl : The Relationship Between Type II Diabetes and Syndrom X, Cureent Opinion, Endocrinology and Diabetes, 2:307,1995
7. Sapico, F.L., Bessmen. A. N., Canawati, H. N. : Bacteremia in diabetic patients with infected lower extremitas, Diabetes care, vol 5(2), 101-104, 1982.
8. Sjamsochidajat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta, EGC, 1997.p. 1238 – 1239.
9. Slamet Suryono, Dasar-dasar pengobatan Diabetes Mellitus, dalam Diabetes Mellitus Simposium Berkala, Jakarta, FKUI, 1980. p 87-90
10. Stout, R. W : Ageing and Glucose Tolerance in Diabetes Old, PP 21-44, 1995
11. Waspadji Sarwono. Gambaran Klinis, Diabetes Melitus, dalam Noer Sjaifoellah, Rachman A, dkk. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi III, Jakarta, BP FKUI, 2001p. 586 – 589.
12. Weiss, H.J : Platelets phatofisiology and antiplatelet drug therapy, Alan R. Liss INC, new York, 46-62, 1982
13. Grootenhuis P.A. : epidemiological Aspects of the Insulin Resistance Syndrome, Doctoral Thesis; Free University of Amsterdam 1994
14. Sarwono Waspaldji, Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
15. Askandar Tjokroprawiro, Angiopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
16. www.medicine.com, Journal Medicine, 2008 “Pencegahan Penyakit Diabetes Melitus Tipe II”.
17. Aris Mansjoer, dkk, Penuntut Diet dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III.
18. 5. Sonoto Pratanu, Elektrokardiografi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
0 comments:
Post a Comment